Masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Suku Bugis-Bone sejak dahulu dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi. Mereka memelihara, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang diwarisi secara turun-temurun.
Pa’balu Bale dalam bahasa Bugis-Bone berarti nelayan penjual ikan yang mendiami pemukiman nelayan Bajo di Kelurahan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Mereka masih tetap mempertahankan pengetahuan lokal dalam memanfaatkan sumberdaya hayati laut. Pa’balu Bale Bugis-Bone menganggap laut sebagai lalèng (jalan) yang berarti prasarana transportasi yang dapat dilalui bagi masyarakat sekitar dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari sebagai nelayan. Mereka pun dapat memprediksi beberapa wilayah penangkapan yang diketahui terdapat banyak ikan dan biota laut lainnya. Salah satunya yaitu sappa (gugusan karang) yang di dalamnya terdapat rumah ikan dan dijadikan sebagai wilayah penangkapan dan harus dijaga kelestariannya. Jenis ikan yang hidup dan berkembang biak di sappa antara lain ikan lajang (layang), ikan bolu (bandeng), ikan lure (teri) dan lain-lain.
Alat tangkap yang digunakan Pa’balu Bale untuk memperoleh ikan yaitu alat pancing tabere atau pancing tunggal dan pukat nylon. Dalam menangkap ikan, mereka memiliki pantangan yaitu tidak boleh menangkap ikan-ikan besar, seperti ikan paus dan lumba-lumba.
Selain dari pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut, terdapat pula stratifikasi atau tingkatan Pa’balu Bale nelayan Bugis-Bone yang dikenal dengan Ponggawa-Sawi. Ponggawa adalah nelayan yang memimpin kegiatan operasional penangkapan ikan di laut dan memiliki modal atau aset pribadi seperti perahu dan alat tangkap. Sementara, Sawi adalah nelayan yang hanya mengandalkan tenaga dalam kegiatan penangkapan ikan dan perawatan perahu serta alat tangkap di bawah komando Ponggawa. Umumnya, Sawi yang direkrut sebagai anggota oleh Ponggawa adalah masyarakat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Ponggawa tersebut, seperti saudara, ipar, anak, kemanakan, menantu, cucu dan sebagainya.
Ponggawa-Sawi dalam kegiatan fungsional biasanya juga berperan mengatur proses produksi, distribusi hingga konsumsi. Selain itu, mereka juga mengatur pembagian tenaga kerja, perolehan modal dan menetapkan aturan bagi hasil. Aturan bagi hasil nelayan Ponggawa-Sawi bervariasi antara 50% – 50% dan 55% – 60% yang dilakukan setelah dikeluarkan biaya-biaya operasional, administrasi dan jasa penjualan yang berkisar 9 – 11%, aturan bagi hasil tersebut masih mencirikan adanya pemerataan, sehingga dapat dikatakan stratifikasi ini tidak menimbulkan kesenjangan antar nelayan.
Pengetahuan lokal yang dimiliki Pa’balu Bale nelayan Bugis-Bone merupakan adaptasi dari lingkungan yang berada pada wilayah pesisir dan laut yang hingga saat ini sebagian besar masih digunakan sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas di laut. Pengetahuan-pengetahuan tersebut bersifat tradisional yang mengandung kearifan dalam mengelola sumber daya hayati laut, sehingga perlunya dipertahankan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan di sektor perikanan dan kelautan Indonesia.
Juara Harapan 3 Essay Contest 2020
Penulis: Anisa Aulia Sabilah
Penyunting: Rosyid Amrulloh