Indonesia adalah salah satu dari 17 negara dengan keanekaragaman hayati tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati fauna di Indonesia menempati urutan kedua setelah Brazil. Indonesia adalah habitat bagi 12% mamalia di dunia setara dengan 515 spesies, 16% jenis reptil dunia juga hidup di Indonesia setara dengan 781 spesies, dan 35 spesies primata juga hidup di hutan Indonesia, posisi keragaman jenis primata menduduki posisi ke empat di dunia, diikuti oleh 17% atau setara 1.592 spesies burung hidup di hutan Indonesia. Kekayaan jenis sejumlah 270 spesies amfibi di hutan Indonesia menempatkan Indonesia di posisi kelima di dunia (Convention on Biological Diversity, 2021).
Sayangnya, keanekaragaman hayati Indonesia juga tidak terlepas dari berbagai ancaman. Indonesia menghadapi ancaman krisis biodiversitas yang tajam akibat perburuan untuk perdagangan satwa liar. Selama 10 tahun terakhir tercatat lebih dari 1500 kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar (TSL) dengan lebih dari 450 spesies dimanfaatkan secara ilegal.
Sebagai upaya menangani perdagangan satwa liar, saat ini ada empat hal yang perlu diperkuat oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah dan non pemerintah termasuk perguruan tinggi dan NGO dalam menghadapi tantangan penanggulangan kejahatan TSL. Keempat hal tersebut adalah penguatan dan perbaikan (1) ekosistem sumber daya manusia, (2) ekosistem peradilan, (3) ekosistem pengambilan keputusan, dan (4) ekosistem kelembagaan sehingga mewujudkan tata kelola penegakan hukum yang kuat untuk memerangi kasus-kasus kejahatan satwa liar dapat diwujudkan.
Permasalahan illegal wildlife trade (IWT) mencerminkan permasalahan sustainability yang kompleks, sehingga membutuhkan terobosan baru dan solusi dari berbagai sector. Hal ini dikarenakan IWT melibatkan banyak aktor dan kepentingan mulai dari hulu hingga hilir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan terobosan serta strategi yang berbeda dalam upaya mengatasi IWT ini. Salah satu yang dapat dilakukan adalah memperkuat upaya pencegahan melalui deteksi dini kejahatan dengan memprediksi mengidentifikasi wilayah yang rawan kejahatan satwa liar melalui sebuah pemodelan dan/atau perangkat lunak. Pengembangan perangkat lunak ini menggunakan teknologi artificial intelligence.
Saat ini, CTSS IPB University sedang mengembangkan suatu infrastruktur berupa piranti lunak yang didesain mampu melakukan prediksi wilayah-wilayah rawan kejahatan perdagangan satwa liar. Dengan adanya piranti lunak tersebut, nantinya akan ikut membantu upaya penegakan hukum pada wilayah-wilayah yang telah diprediksi sebagai wilayah rawan kejahatan.
Penggunaan teknologi berupa artificial intelligence dengan Machine Learning memungkinkan perangkat lunak untuk mengidentifikasi konten verbal, visual, dan audiovisual yang berkaitan dengan perdagangan satwa liar illegal. Hasil identifikasi tersebut akan menghasilkan informasi yang bisa memprediksi wilayah rawan kejahatan satwa liar. Data yang dibaca oleh perangkat artificial intelligence dan machine learning akan terus mengalami pengembangan secara otomatis bergantung pada data yang diinput. Dengan demikian, informasi yang diperoleh dari penggunaan artificial intelligence mengalami pembaharuan secara terus menerus. Selain itu, sinergitas para pihak lintas sektor sangat diperlukan agar upaya pemberantasan kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar dapat berjalan dengan baik.