Dusun 7 Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyu Asin adalah salah satu desa yang menerapkan konsep pengelolaan lahan berkelanjutan dengan pendekatan transdisipliner. Dusun 7 ini merupakan salah satu desa kemitraan didalam program Pengelolaan Lanskap Sembilang-Dangku (KELOLA Sembilang-Dangku), Area Model 2. Karakteristik wilayah area model 2 yaitu :
Pict : Kegiatan diskusi dengan masyarakat lokal di Dusun 7, Desa Muara Medak
KELOLA Sendang (KS) adalah sebuah program yang diimplementasikan dalam rangka memfasilitasi dan mendukung pemerintah, swasta, dan komunitas lokal guna mengembangkan kemitraan untuk pengelolaan lanskap berkelanjutan (KS, 2019). KS memiliki wilayah kerja seluas 1,6 juta hektar yang merentang dari Taman Nasional Berbak-Sembilang sampai Suaka Margasatwa Dangku yang secara administratif meliputi Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Tercatat sebanyak 15 Kecamatan dan 21 desa beserta sejumlah rumah tangga dan penduduk di dalam wilayah kerja KS. Di dalam wilayah kerja KS itu pula terdapat kawasan hutan dengan konsesi kehutanan (hutan tanaman industri) dan fungsi konservasi (beserta jenis hewan yang dilindungi), perkebunan (sawit), lahan gambut, daerah aliran sungai, pesisir dan lain sebagainya. Pelbagai pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan di wilayah KS seperti Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, PT G, Disbun Provinsi Sumatera Selatan, PUBMTR, Bappeda Sumatera Selatan, Balitbang LHK Sumatera Selatan, Disbunak Kabupaten Banyu Asin, BPBD Kabupaten Banyu Asin, UNSRI, PSU/GAPKI, KELOLA Sendang, PUTER, Penabulu, Manggala Agni Daops MUBA, dan UM Palembang.
Pict : Kegiatan Diskusi dengan Mayarakat Lokal di Desa Muara Medak
Kompleksitas pada lanskap KS tersebut perlu dikelola dengan baik agar tercapai lanskap berkelanjutan. Salah satu pendekatan untuk memahami kompleksitas yaitu pendekatan transdisiplin (TD). Pendekatan TD adalah kolaborasi antara pertukaran informasi, penyesuaian pendekatan dari setiap disiplin ilmu, berbagai sumberdaya, dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan bersama (Rosenfell 1992).
CTSS sebagai Center for Tansdisciplinary and Sutainability Sciences mengambil peran menjadi fasilitator untuk berbagai pemangku kepentingan pada lanskap KS untuk bersama-sama menemukan solusi atas permasalahan yang kompleks. Untuk memahami mengenai kompleksitas dalam lanskap KS, maka CTSS melakukan pengumpulan data dan informasi mengadopsi metode campuran yang dilakukan secara formal dan informal. Metode campuran yang bersifat informal terdiri atas immersion, diskusi kelompok fokus partisipatif (p-FGDs), wawancara mendalam, dan observasi langsung. Konteks informal memberikan ruang orang sendiri untuk berinteraksi, membangun wawasan berulang dan mendorong ‘suara yang lebih kecil’ yang kurang didengarkan agar tampak (visible).
Serangkaian diskusi-diskusi secara formal telah dilaksanakan di tingkat provinsi dan desa untuk menghasilkan pengetahuan bersama dan mencari solusi untuk mengatasi suatu masalah. Tujuan diskusi-diskusi ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang TD terhadap para pihak terkait dalam KS, mendapatkan pemahaman emik mengenai kompleksitas krisis sosial ekologis yang terjadi dalam ruang lingkup KS, serta penilaian cepat (rapid assessment) terhadap tingkat kompleksitas konteks tersebut sebagai landasan menyusun strategi penerapan kerangka TD secara efektif dan efisien.
Secara umum rangkaian proses kajian dapat dikatakan dimulai dari studi literatur (desk study) kemudian diikuti dengan elaborasi konsep TD dengan menggali tanggapan dari multipihak dan multiperspektif. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi para pihak di lokasi-lokasi model dan mengumpulkan input dari para pihak mengenai peluang pengelolaan lanskap secara terpadu serta tantangan-tantangan yang mesti dihadapi.
KS merupakan laboratorium yang tepat untuk melakukan proses penerapan TD dalam mencari solusi bersama dalam mengatasi isu sosial ekologis. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat kompleksitas yang tinggi, utamanya ketidakterpisahan antara isu sosial dan ekologis. Keterbukaan dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat dan para pemangku kepentigan lainnya terhadap CTSS sebagai Lembaga ‘netral’ yang tidak tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik, merupakan modal dasar yang baik untuk memulai proses aplikasi TD.
Berikut beberapa temuan pokok di lapangan selama menggunakan aplikasi TD, sebagai berikut:
- Modal sosial (social capital) serta tingkat kepercayaan/kohesi yang rendah secara horisontal (antara anggota masyarakat) maupun secara vertikal (antara masyarakat dengan para pemangku kepentingan lainnya termasuk pemerintah, LSM dan sektor swasta).
- Tingkat kompleksitas tinggi antara unsur material (misalnya akses terhadap sumber daya alam dan kebakaran hutan) dengan unsur non material (misalnya status dan kesenjangan sosial). Kemudian, adanya ketimpangan relasi kuasa dan keadilan distributif dalam pengelolaan lanskap merupakan faktor penentu (determinant factors) dalam proses aplikasi TD.
- Tingginya proses komodifikasi “vis a vis” rendahnya proses partisipasi berlandaskan emik yang berpengaruh terhadap proses inklusi sosial, pembentukan identitas kolektif dan kearifan lokal/praktik-praktik baik dalam pencegahan serta pengelolaan bencana termasuk dari kelompok marjinal seperti Suku Anak Dalam (SAD).
Berdasarkan temuan-temuan pokok di lapangan seperti yang diuraikan di atas, maka dibutuhkan beberapa langkah pendahuluan yang dapat memperkuat kohesi serta membuka ruang dialog yang sehat bagi pelbagai pemangku kepentingan terkait. Hal ini harus dicanangkan dalam langkah-langkah strategis sebelum dimulainya aplikasi TD. Di saat yang sama, emmerging issues yang timbul dari gambaran kompleksitas di KS dapat menjadi landasan penelusuran lebih jauh dari pelbagai disiplin ilmu yang berbeda serta kearifan lokal guna membentuk constellation analysis yang solid. Dengan demikian, aplikasi TD meliputi dialog antar paradigma yang berjalan secara parallel dengan dialog antar para pemangku kepentingan. Selain itu, perlu strategi baru untuk menggali dan memformulasikan potensi pembentukan kelembagaan water governance. Kajian power relation baik dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa harus digali lebih lanjut dengan kombinasi pendekatan etik dan emik.
Berdasarkan temuan di Proyek KS, terkait dengan resolusi konflik untuk manajemen lanskap yang berkelanjutan, kami mengusulkan enam prinsip pendekatan lanskap berkelanjutan yaitu: batas geografis yang jelas, kolaborasi semua aktor yang relevan, keberadaan “umbrella coordinating body”. saling menguntungkan dan inklusif, kompleksitas, dan dukungan politik.