Pendahuluan :
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Pembangunan Infrastruktur Pertanian, Ani Andayani, menyampaikan apresiasinya atas keberhasilan Kabupaten Alor dalam upaya membangun ketahanan pangan di wilayah tersebut (di desa Malaipea, Kecamatan Alor Selatan, Kabupaten Alor). Ani menambahkan, hal ini juga tak lepas dari peran Pemda Kabupaten Alor, Camat, Dandim dan seluruh masyarakat. Amon Jobo (Bupati Kabupaten Alor) juga mengakui, semua capaian keberhasilan di bidang pertanian di Kabupaten Alor tersebut, tak bisa dijauhkan dari peran pejabat, baik di tingkat pusat maupun provinsi, yang intensif mendampingi masyarakat (Kabupaten Alor Dinilai Sukses Membangun Ketahanan Pangan – Januari 2018).
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Provinsi NTT, Sinun Petrus Manuk, menyatakan bahwa selama lima tahun (2015 – 2019) Desa-desa NTT, khususnya di Kabupaten Alor mendapat dana sebesar Rp
564.324.461.000,- , tetapi faktanya, prosentase kemiskinan di Alor (dan NTT pada umumnya), masih tetap tinggi (NTT nomor 3 termiskin dari seluruh provinsi di Indonesia). Selain kemiskinan yang tinggi, penderitaan NTT kian lengkap dengan angka prevalensi stunting pada urutan pertama dari 34 provinsi di Indonesia (https//kumparan.com/florespedia/dana–desa-rp—10-triliun-mengalir- ke-,ntt-kemiskinan-tetap-jadi-momok-). Semua tambahan pendapatan dari suksesnya program ketahanan pangan di Alor, masih belum mengubah situasi kemiskinan di A lor, padahal biaya sosial berupa belis di seluruh Kabupaten sudah dengan sukses diturunkan dalam periode 2011- 2018. Hal ini disebabkan program ketahanan pangan yang sukses ini, masih dilakukan berupa demplot di satu desa, belum dilakukan secara masif oleh petani di Alo
Salah satu daerah yang mematok mahar cukup tinggi adalah daerah NTT. Tradisi pemberian mahar yang disebut belis ini, bisa menghabiskan biaya hingga total puluhan hingga ratusan juta. Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Alor bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) dari tahun 2011 s/d 2018, telah berhasil menurunkan biaya belis di seluruh Kabupaten Alor. Kesepakatan ini meringankan beban kehidupan masyarakat Alor dan membawa dampak hubungan tiga tungku (tungku lembaga adat, tungku pemerintahanan dan tungku lembaga agama) yang semakin harmonis di Kabupaten Alor (pernyataan para tokoh adat di Kabupaten Alor. Hubungan yang sudah dipulihkan diantara tiga tungku, baik di level desa, kecamatan dan kabupaten, bisa dipakai mendorong mempercepat proses keberhasilan demplot ketahanan pangan di Alor, sehingga ikut menekan tingkat kemiskinan di Kabupaten Alor secara nyata dan lebih cepat.
Isi :
Pada umumnya adat dibahas di Balai Adat dan dilestarikan di rumah-rumah tangga dengan menggunakan bahasa ibu, yang jumlahnya sekitar 56 buah. Penulis beruntung yang menghabiskan masa pendidikan TK dan SD di Alor. Selama di Alor, penulis mengamati dan mempelajari kiprah yang dilakukan bapak saya (Slamet Kusharyadi) bersama para tokoh adat. Sebagian kegiatan itu dilakukan dengan berdiskusi di ruang tamu rumah tinggal kami. Walaupun dari pelosok, mereka fasih berbahasa Indonesia. Selain tokoh adat, tokoh agama, masyarakat, ibu-ibu, dan juga anak-anak usia SD fasih berbahasa Indonesia. Banyaknya bahasa lokal merupakan kekayaan, tetapi di sisi lain mempermudah antar juru bicara adat saling menipu dan masyarakat adat hanya mengikuti keputusan para juru bicara adat, sehingga belis yang dulunya sederhana semakin lama semakin mahal. Bapak saya berkisah, ―Kalau dulu tokoh adat sangat ditakuti, kami memegang rahasia yang orang lain tidak boleh tahu. Kami pegang kuat-kuat rahasia itu, yang kami sebut ‗bungkusan‘. Bungkusan rahasia itu kami tutup rapat, karena kalau kami buka, maka aib kami pun akan terbongkar. Maka kadang harus kami selimuti dengan kata-kata sajak-sajak adat supaya hanya orang adat saja yang tahu. Mereka sangat percaya kepada bapak, karena dianggap orang tengah atau netral, tidak terlibat dalam konflik atau saling tipu di antarapara tokoh adat
Dalam setiap rumpun selalu muncul pribadi yang ingin berubah dan menjadi inisiator bagi gerakan Revitalisasi Budaya. Tokoh yang dituakan, sekaligus berprofesi sebagai pendeta emeritus bersaksi, ―Saya sudah terbebas dari belenggu adat perkawinan Rumpun Adat Nuh Atinang dan Abui Mataru dengan penuh keberkatan Tuhan, dan juga kebaikan hati bapak mantu (mertua, pen) karena yang bersedia membahas urusan adat tanpa juru bicara adat. Lalu, bagaimana dengan nasib perkawinan umat Tuhan, warga jemaat, masyarakat, yang masih terbelenggu lingkaran adat perkawinan yang merugikan?‖ Tentu sekali saya sebagai pendeta, meski sudah emeritus, tetapi tidak dapat mendiamkan atau menutup adat perkawinan yang sudah dipulihkan secara pribadi dan internal keluarga. Dalam lingkungan keluarga, saya sudah melakukan pemulihan budaya adat perkawinan itu untuk kedua anak perempuan kandung yang memasuki usia kawin, masing-masing tahun 2005 dan tahun 2015. Semuanya berlangsung santun, aman, ramah tamah dan bahagia sejahtera. Pengalaman pribadi itu saya tidak dapat diamkan untuk diri saya sendiri dan saya sebarkan juga menjadi bagian hidup semua warga yang masih terbeban lingkaran adat perkawinan.‖
Hasil wawancara selanjutnya sebagai berikut, ―Ketika gerakan Revitalisasi Budaya Alor yang diinisiasi WVI ADP Alor, mulai melibatkan rumpun Abui Mataru, saya dengan senang hati mengambil bagian di dalamnya. Sejak tahun
2011, saya pun bersama merespon gerakan revitalisasi dalam peran sebagai salah satu narasumber dan inisiator lembaga adat Abui Mataru dengan mengikuti pertemuan-pertemuan tokoh adat, pimpinan agama dan pemerintah. Berturut- turut pertemuan yang saya ikuti, antara lain: di Aula Watamelang, Hotel Nusa Kenari, Aula Rumah Jabatan Bupati Alor, dan akhirnya berhasil melangsungkan Musyawarah Adat Abui Mataru dengan membentuk Lembaga Adat Abui Mataru pada tanggal 30 Januari sampai dengan 1 Februari 2013 di Bagalbui secara terpadu dengan Musrenbang Kecamatan Mataru. Hal ini sebagai wujud respon
positif tokoh adat 30 (tiga puluh) kampung, 7 (tujuh) desa, 13 gereja dan 11 sekolah dengan biaya swadaya murni.Pada umumnya para tokoh adat di Kabupaten Alor selalu menyimpulkan sendiri bahwa biaya pernikahan adat sangat tinggi dan memberatkan anak cucu. Kesaksian salah satu tokoh adat dari Rumpun Nuh Atinang yang berkata,
―Prosesnya tokoh adat diajak untuk memaparkan berapa besar biaya yang dipakai untuk suatu perkawinan. Pak Slamet (Bapak saya) paham betul, mulai dari masuk minta, peminangan, perutusan juru bicara, pembahasan belis, proses pembelisan, pembahasan nikah Masehi dan nikah BS dan seterusnya, bahkan sampai pesta balas gereja. Semuanya ditanyakan, dan hal itu yang kami tuliskan di kertas coklat. Semua dinominalkan. Juga ditanyakan kalau ada denda-denda adat, biaya membuat teng (tenda, pen), bagaimana konsumsinya. Semua ditanyakan, lalu tokoh adat diminta menghitung sendiri jumlahnya. Hal ini yang mengejutkan para tokoh adat, ternyata dua-tiga ratus juta rupiah.‖ Bapak saya yang pernah belajar akuntansi, saat kuliah di universitas negeri terkenal di Indonesia, sedang mempraktekkan ilmu akuntasinya secara proporsional, supaya tidak menyinggung para tokoh adat. Biasanya bapak bertanya lebih lanjut kepada para tokoh adat, ―Kalau uang ini dipakai untuk kuliah anak, sudah berapa dokter yang dihasilkan, sudah berapa pendeta yang tamat, sudah berapa guru yang dihasilkan, dan seterusnya. Pertanyaan seperti ini membuat para tokoh adat melakukan refleksi diri dan akhirnya mau berbalik demi anak cucu dari memberatkan hutang belis, yang ditanggung anak cucu secara turun temurun.‖ Proses ini dilakukan di setiap rumpun, dikenal dengan nama Musyawarah Adat. Komitmen untuk menaati secara konsisten hasil kesepakatan dalam musyawarah adat dilakukan melalui Sumpah adat, dipimpin oleh tokoh adat dan diikuti semua yang hadir dalam musyawarah adat.
Sumpah adat Rumpun Batulolong, dilakukan di malam hari di mesbah adat, kira – kira 200 meter dari kantor Kecamatan Alor Selatan, dimana kesuksesan demplot pertanian organiknya sangat dipuji Bupati Amon Jobo. Musyawarah adat juga menyepakati bahwa sumpah adat dipimpin langsung oleh pewaris kerajaan Batulolong sekaligus bapak Sekcam (Sekretaris Kecamatan) Batulolong dan prosesi dipandu oleh pendeta Sefnat Sailana (pendeta jemaat dan sekaligus mantan ketua Klasis GMIT Alor Tengah Selatan). Prosesi sumpah adat diawali dengan penandatanganan kesepakatan adat oleh para pimpinan adat di ruang rapat kecamatan dan dilanjutkan berjalannya para tokoh adat Batulolong ke mesbah adat yang didahului oleh ―Hulubalang‖ dan diikuti bunyi-bunyian dari alat musik
tradisional. Perjalanan menuju mesbah dilalui dibawah hujan rintik-rintik di malam yang gelap gulita. Masyarakat adat percaya bahwa hujan, menggambarkan perkenanan alam terhadap proses adat yang sedang dilalui. Sumpah adat diucapkan di depan mesbah adat, yang ditirukan ucapannya oleh segenap hadirin. Dalam sumpah adat tidak dilakukan pengorbanan babi, hanya dibacakan kesepakatan adat yang telah ditandatangani dan menirukan beberapa sumpah dalam bahasa adat serta ditutup doa oleh seorang pendeta. Selanjutnya semua yang hadir terlibat dalam Tarian Lego-lego (seperti terlihat dalam foto di atas).
Sebagai contoh Sumpah adat, diwawancara Tokoh adat dari Batulolong. Gesah – Sudah cukup sampai disini, Belis yang memberatkan. Gesah adalah intisari yang diucapkan oleh para tokoh adat yang bersumpah, ―Demi Langit dan Bumi, kami bersumpah, bahwa kami akan memegang teguh dan melaksanakan semua keputusan adat yang telah disepakati bersama pada hari ini di Apui, mulai dari saat ini sampai turun temurun kami‖. Mereka bersumpah pada tanggal 18
Nopember 2016 – malam hari, di mesbah dekat kantor Kecamatan Alor Selatan. Sejak para tokoh adat bersumpah sampai dengan tulisan ini dibuat, maka hampir semua (53 pasangan yang menikah) pasangan yang menikah adat di Rumpun Batulolong, langsung melakukan pernikahan kudus di Gereja. Tidak ada satupun pasangan yang menikah dengan mal yang lama. Sebelum melakukan sumpah adat, ketika belis masih memberatkan (antara tahun 1970 s/d sebelum sumpah adat – 18 Nopember 2016), banyak penyelenggaraan nikah kudus (Nikah Gereja) tertunda, karena nikah adat belum diselesaikan belisnya. Anak-anak dan perempuan mengalami kekerasan sedang laki-laki yang belum melunasi belis merasa tidak aman dan tertekan. Dengan dilaksanakan sumpah adat, maka hubungan antar tokoh adat dan hubungan antara tiga pemangku kepentingan yang menentukan maju mundurnya masyarakat, menjadi cair dan hubungan semakin harmonis.
Revitalisasi Budaya berdampak bagi kehidupan masyarakat. Sebagai contoh yang terjadi di Rumpun Mataru, sebagai berikut :
1) Terbentuknya 7 (tujuh) Dewan Adat Desa di Kecamatan Mataru. Hal ini memulihkan hubungan dan rasa saling percaya di antara para tokoh adat, tokoh agama, pemerintah maupun keluarga-keluarga telah menciptakan suasana harmonis di Rumpun Mataru.
2) Saat ini, perempuan di rumpun Mataru sudah dihormati dan dapat mengemukakan pendapatnya sendiri. Walau demikian, terbatasnya perempuan tentang adat Rumpun Mataru mengakibatkan belum adanya perempuan yang duduk dalam kepengurusan Lembaga Adat Abui Mataru (disingkat LA-ABUI).
3) Tidak ada lagi saling tipu menipu di antara tokoh adat. Dengan penyeragaman nilai adat maka tidak ada lagi kesa pating (juru bicara) yang dapat memberikan informasi bohong mengenai harga dan jenis moko sebagai belis pada perkawinan adat Rumpun Mataru.
4) Terjadi sinergi antara tokoh adat dan pemerintah. Lembaga adat memperoleh dukungan dari pihak pemerintah untuk pengembangan potensi budaya sebagaimana tertuang dalam program Lembaga Adat Abui-Mataru 2015-
2021, antara lain: (a) Penetapan adat perkawinan, (b) Pengembangan sanggar budaya Abui-Mataru, (c) Amun Tape (Pesta Budaya), (d) Pengembangan objek wisata, (e) Pengembangan tenun adat Mataru, (f) Kesenian tari daerah.
5) Pulihnya hubungan antara tokoh adat dan gereja. Sebelum Revitalisasi Budaya, adat menjadi barometer kehidupan masyarakat Abui-Mataru; termasuk pelaksanaan perkawinan adatnya. Tidak ada masyarakat Abui- Mataru yang dapat melaksanakan perkawinan gerejawi dan catatan sipil, sebelum kawin adat. Hal ini menyebabkan banyaknya pasangan yang hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah. Dengan demikian, tidak dapat memiliki akta perkawinan yang dapat digunakan untuk mengurus akta lahir anak-anak, sehingga anak-anak tidak dapat memperoleh fasilitas kesehatan maupun pendidikan yang mensyaratkan kepemilikan akta lahir. Juga fasilitas layanan publik yang disediakan pemerintah – Jamkesmas, Raskin, dan sebagainya – mensyaratkan adanya Kartu Keluarga atau KTP, tetapi belum bisa diakses, sebab belum menikah secara sipil. Setelah Revitalisasi Budaya, walaupun belum kawin adat – asalkan sudah ada kesepakatan di antara kedua orang tua mempelai – nikah gereja dan sipil bisa dilakukan lebih dulu.
6) Terbangun kepercayaan di antara para tokoh adat dan tokoh agama, karena memiliki tujuan yang sama, membangun masyarakat Abui-Mataru yang sejahtera turun-temurun. Kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dibuktikan dengan menurunnya jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga maupun antar keluarga yang ditangani oleh pemerintah lokal. Pihak pemerintah dan gereja juga aktif mensosialisasikan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, sehingga masyarakat lebih sadar untuk saling menghargai dalam rumah tangga. Saat ini, masyarakat sudah bisa hidup saling menghargai dan tolong menolong sebagaimana motto Tomot-Totawa.
Selama tinggal di Alor, saya sempat mengamati pertanian di Alor sebagai berikut. Sejak dahulu kala, orang Alor terkenal dengan bercocok tanam dari lahan berpindah-pindah. Penduduk di masa lampau kurang, sedang lahan cukup banyak. Petani rajin bekerja buka lahan untuk tanam palawija seperti; padi, jagung, dan ubi-ubian. Kini penduduk bertambah, lahan kurang, sehingga bertani
dengan lahan pindah-pindah tidak memungkinkan lagi. Yang diusahakan dalam pertanian yang menetap adalah kebun kemiri, cengkeh, coklat, jambu mente, dan vanili. Untuk memastikan tokoh adat tidak hanya berperan mengurus perkawinan, tetapi juga mau mengurus perihal pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan, maka dalam memangku adat, tokoh adat / ketua rumpun adat perlu dilakukan sumpah adat dulu.
Penutup :
Dari 175 desa/kelurahan yang ada di seluruh Kabupaten Alor, hanya 8 desa (5%) saja yang relatif aman dari resiko rawan pangan. Lahan di Kabupaten Alor relatif luas, yaitu 136.237,88 ha lahan kering dan 3.354,5 ha lahan basah. Lahan kering yang luas, banyak yang ditelantarkan, begitu juga lahan basahnya (Meretas Masalah Perpanganan di Kabupaten Alor: Dulu, Kini dan Masa Mendatang, halaman 143-144).
Strategi pengembangan ketahanan pangan di Alor sebagai berikut:
a)Mengembangan intensifikasi dan ekstensifikasi tanam padi di lahan basah seperti yang ada dalam pendahuluan ; b)Melakukan diversifikasi pengembangan pangan lokal, seperti jagung, ubi-umbian dan kacang-kacangan ; c)Melakukan diversifikasi pengembangan tanaman (sayuran, buah-buahan dan holtikultura) yang potensial dikembangkan di Alor. ; d) Memanfaatkan pulihnya hubungan tiga pemangku kepentingan (tungku) yang ada di tingkat desa, untuk terlibat aktif dalam pengembangan ketahanan pangan.
Tokoh adat dan tokoh agama yang punya hubungan dekat dengan masyarakat adat dan masyarakat agama, bisa diajak bekerjasama untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Tungku pemerintah terlibat dalam membantu pengembangan proposal, bantuan tehnis dan permodalan serta berhubungan dengan pengusaha yang dapat membantu memasarkan produk yang dikembangkan masyarakat.
Sumpah Adat yang diucapkan pada malam hari di 18
Nopember 2016, adalah obat penawar yang disediakan nenek moyang untuk melakukan perubahan arah menuju hidup yang sejahtera bagi keturunan. Oleh karena sumpah adat adalah “Gesah– Pembatas antara perubahan sesuatu, yaitu sebelum revitalisasi dan setelah revitalisasi. Dengan Sumpah Adat telah memotivasi masyarakat adat dan tokoh tokoh adat seluruh Rumpun Batulolong berkata, “Gesah – Sudah cukup sampai di sini, belis yang memberatkan.”
Penulis : GCF. Arumdani W
Juara 1 Kategori Sarjana