Terlahir sebagai perempuan asli Jawa Timur membuat saya cukup familiar menyaksikan beragam kebudayaan atau pertunjukan seni khas daerah tapal kuda yang meliputi tujuh Kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasurun, Situbondo dan Probolinggo. Saya bersyukur terlahir di daerah yang masih lekat dengan kesenian rakyat. Sejak kecil saya biasa disuguhkan dengan alunan musik daerah atau pertunjukan tari dalam acara keluarga seperti khitanan dan pesta pernikahan yang digelar saudara.
Salah satu seni pertunjukan yang begitu melekat dalam benak adalah Jaranan yang identik dengan aksi makan beling (pecahan kaca). Sejak kecil saya memang seringkali disuguhi tontonan jaranan, baik saat pentas seni dalam rangka Hari Ulang tahun (HUT) RI di kampung hingga ketika pesta pernikahan yang digelar saudara. Biasanya mereka akan mengundang atau istilah jawanya “nanggap” pertunjukan Jaranan untuk menghibur tamu undangan.
Jika biasanya anak-anak kecil enggan berdekatan dengan panggung saat pertunjukan Jaranan digelar, saya justru berlari kencang supaya mendapatkan posisi terdepan menyaksikan kesenian daerah khas Jawa Timur ini.
Semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga kuliah master di Kota hujan, jujur saya tak lagi sering menyaksikan kesenian ini secara langsung. Rasanya rindu sekali dengan kemeriahan pertunjukan dan tepuk tangan penonton. Pucuk dicinta ulampun tiba, saat mengunjungi seorang kawan di Kota Banyuwangi tanpa sengaja saya dipertemukan kembali dengan kesenian daerah yang sudah dinanti-nanti.
Pertunjukan Jaranan Buto di Depan Stadion Jajag Banyuwangi (Dokpri)
Terlebih, saya juga memiliki kesempatan mengobrol yang cukup intensif dengan warga lokal mengulas kesenian rakyat Jaranan Buto khas Bumi Blambangan. Kesenian Jaranan memang memiliki ragam variasi sesuai daerah masing-masing begitu juga pada Kota Banyuwangi ini yang terkenal dengan Jaranan Buto-nya.
Menurut salah satu warga di sana, usut punya usut kesenian jaranan awalnya berasal dari Kediri yang diciptakan oleh Sunan Wudung. Awalnya kesenian ini dibentuk dengan tujuan sebagai media dakwah dalam agama islam. Oleh sebab itu, seni tari Jaranan lekat dengan nilai-nilai religi.
Kemudian, kesenian Jaranan tersebut diadaptasi oleh Setro Asnawi, seorang seniman yang berasal dari Trenggalek menjadi Jaranan Buto. Konon katanya, Jaranan Buto terinspirasi dari sosok Minak Jinggo yang bertubuh raksasa. Maka dari itu, jika kita perhatikan kostum yang dikenakan pemain saat pertunjukan menampilkan sosok raksasa atau “Buto” dalam Bahasa Jawa.
Perbedaan yang mencolok dari Jaranan Buto khas Banyuwangi dengan kesenian Jaranan lain yaitu adanya hierarki peran baik raja, patih dan prajurit
Drama Tari Jaranan Buto secara umum menggambarkan atau mengisahkan perjalanan hidup manusia, baik dari lahir hingga meninggal dunia. Yang menarik, pelajaran yang ditonjolkan yaitu “Orang lahir ke dunia memiliki kedudukan yang sama, tidak membawa apa-apa. Namun, ketika hidup ditempeli jabatan sehingga sebagian menjadi lupa diri atau istilah Jawa-nya ndadi.”
Pertunjukan “Jaranan Buto” Banyuwangi tediri dari tiga bagian yang dibedakan berdasarkan waktu, yaitu pagi, siang dan sore. Saat pagi hari, pertunjukan akan dibawakan oleh anak-anak. Hal ini bertujuan menampilkan kehidupan manusia yang dimulai dari anak-anak. Kemudian saat siang hari, pemeran akan digantikan dengan anak muda atau remaja. Biasanya pada bagian siang hari akan ditampilkan adegan kesurupan atau kemasukan roh halu/setan.
Adegan kesurupan tersebut menjelaskan bahwa setiap orang memiliki nafsu. Ketika tidak bisa mengendalikan nafsu tersebut akan kerasukan dan memiliki perilaku tidak lumrah, misalnya makan “beling” atau pecahan kaca hingga ayam mentah. Sementara itu, mereka yang bisa mengendalikan nafsu akan menari dengan normal mengikuti irama.
Mengapa adegan “kesurupan” ini ditampilkan pada siang hari ? Hal ini dikarenakan matahari tepat berada di atas kepala sebagai simbol ketika manusia sudah memiliki harta, tahta, dan wanita maka akan mengeluarkan sisi lain dari dirinya yaitu sombong dan pongah.
Saat sore hari dapat dikatakan puncak dari pertunjukan Jaranan Buto yaitu dengan menampilkan adegan “rampokan”. Akan ada seorang penari yang membawa celeng (babi hutan) yang terbuat dari kulit. Penari dengan celeng ini akan dikejar-kejar oleh penari lainnya yang membawa cemeti, pecut atau cambuk dimana merupakan simbol manusia akan menemui ajalnya atau kematian. Mau lari kemanapun kematian akan selalu mengintai kemanapun mereka berada. Pada akhirnya “Celengan” (Tabungan) yang disimbolkan oleh “Celeng” adalah penyelamat di kehidupan selanjutnya. “Celengan” (Tabungan) yang dimaksud disini adalah amal perbuatan.
Tak sekadar tontonan namun juga merupakan tuntunan…
Pertunjukan rakyat Jaranan Buto bagi saya merupakan kesenian daerah yang syarat akan nilai, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan tak hanya sebagai sarana hiburan yang memberikan tontonan tapi juga tuntunan yang mengedukasi masyarakat dengan pendekatan yang mudah diterima. Seolah seperti duduk di bangku kuliah, dari Jaranan Buto kita dapat mengambil pelajaran yang sangat aplikatif.
Pertama, ditinjau dari nilai sosial misalnya sebagai manusia Kita memiliki kedudukan yang sama. Kita lahir ke dunia tanpa membawa selembar benang, begitu pula ketika berpulang, harta juga tahta tak akan menemani. Maka sudah sepatutnya untuk saling menghargai hak orang lain dan menunaikan kewajiban sebaik mungkin.
Kedua, kebermanfataan yang kita tebarkan selama hidup merupakan “tabungan” sebagai bekal menuju kehidupan selanjutnya. Misalnya, manusia di era modern saat ini tak hanya dapat melakukan kebaikan dalam bentuk membantu sesama. Tetapi jauh lebuh luas, bahwa kemudian kemampuan berpikirnya dapat ditransformasi menjadi karya yang bermanfaat seperti penelitian, tulisan ilmiah populer, dan artikel di berbagai platform.
Ketiga, ditinjau dari aspek lingkungan, drama tari Jaranan Buto mengajarkan kita untuk tidak tamak sehingga tidak merusak bumi. Kenyataannya saat ini, kegiatan manusia khususnya pada sektor ekonomi belum banyak memasukkan faktor lingkungan sebagai pertimbangan utama. Bahkan, boleh dikatakan hanya mengejar keuntungan fantastis jangka pendek. Padahal kerugian lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran jika divaluasi entah betapa besar nilai ekonomi yang sudah terbuang.
Kita tidak boleh lupa ada tanggung jawab besar untuk mewariskan lingkungan dengan keadaan atau kualitas yang sama ke generasi penerus, bukan justru sebaliknya…
Keterlibatan Perempuan dalam Drama Tari Jaranan Buto dari Perspektif Kesetaraan Gender
Lama tidak mengikuti kesenian rakyat Jaranan, saya terkejut melihat keterlibatan perempuan di dalam drama tari Jaranan Buto yang saya temui di depan Stadion Jajag Banyuwangi beberapa waktu lalu. Entah sejak kapan perempuan “diijinkan” tampil pada kesenian rakyat yang selama ini didominasi laki-laki. Bukankah selama ini kalaupun diberi kesempatan biasanya menjadi sinden atau peran-peran sampingan lainnya (bukan pemeran utama). Sehingga keberadaan perempuan pada drama tari Jaranan Buto yang justru ditempatkan pada inti pertunjukkan membuat saya pribadi senang bukan main.
Saya berpikir sejenak, bagaimana jika ini ditampilkan dua puluh tahun silam kemungkinan besar para penari perempuan akan dinilai kurang pantas berkontribusi dalam kesenian rakyat Jaranan Buto. Maklum, dahulu kala keberadaan perempuan di seni pertunjukan kerap dianggap tabu. Kala itu label perempuan “nakal” atau “murahan” akan serta merta melekat bagi mereka yang berani tampil di panggung. Terlebih adegan pada kesenian Jaranan Buto dapat dikatakan cukup ekstrim, seperti adegan dicambuk dengan cemeti dan adegan-adegan peperangan lainnya yang biasanya dianggap lebih cocok diisi oleh kaum laki-laki saja.
Keterlibatan Perempuan dalam Pertunjukan Seni Jaranan Buto (Dokpri)
Saya kemudian mengamati respon penonton lainnya kala itu, saat si penari perempuan menampilkan adegan-adegan yang tidak biasa. Beberapa ibu-ibu tampak terkejut. Selebihnya larut terbawa suasana, Saya amati mereka benar-benar senang dan terhibur. Bahkan sepanjang pertunjukan penonton tak henti-hentinya bertepuk tangan mengapresiasi para pemain perempuan. Respon tersebut sungguh di luar dugaan, dimana artinya masyarakat menerima peran perempuan dalam pertunjukan yang selama ini didominasi oleh laki-laki.
Berdasarkan hasil pengamatan meninjau langsung pertunjukan Jaranan Buto yang diperankan penari perempuan, secara objektif saya lihat kemampuan mereka ketika berlaga cukup dapat menandingi kepiawaian penari laki-laki. Bahkan jika tidak diperhatikan secara seksama, Kita akan sulit membedakan mana penari perempuan dan mana penari laki-laki. Ini membuktikan bahwa jika diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam sebuah kesenian rakyat, perempuan juga dapat memberikan hasil yang maksimal seperti kaum laki-laki.
Lebih jauh, saya menilai keberadaan perempuan dalam drama tari khas Banyuwangi ini sebagai upaya progresif meningkatkan kesetaraan gender sebagai salah satu nilai keberlanjutan dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) khususnya di tingkat akar rumput (Grass Root). Fenonema keberadaan penari perempuan dalam seni pertunjukan Jaranan Buto membuktikan bahwa isu akan kesetaraan gender tidak hanya dimiliki perempuan “kelas atas” dengan privilese sosial, pendidikan, dan ekonomi. Perempuan di tingkat akar rumput juga berhak punya kesempatan mengisi peran strategis dalam melestarikan kebudayaan daerah. Peran yang penuh urgensi di tengah modernitas, bukan begitu ?
Keterlibatan Perempuan dalam Pertunjukan Seni Jaranan Buto (Dokpri)
Saya berharap keberadaan perempuan dalam kesenian rakyat dapat terus mendorong kesetaraan gender secara progresif di akar rumput di masa depan. Bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi peran-peran strategis. Bahwa perempuan punya akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi.Bahwa perempuan juga dapat diperhitungkan dalam dunia pendidikan.
Bahwa perempuan juga bisa memiliki bakat dan kemampuan yang sangat kontributif bagi kemajuan bangsa. Bahwa perempuan berhak memilih karirnya sendiri.
Penulis: Julita Hasanah
Juara 3 Kategori Umum