Pendekatan Lanskap: Membaca yang Tampak, Membongkar yang Tersembunyi

Dalam satu dekade terakhir, pendekatan lanskap (landscape approach) semakin populer sebagai cara baru menjembatani pembangunan dan lingkungan hidup. Ia sering digambarkan sebagai “jalan tengah” antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial

Dalam satu dekade terakhir, pendekatan lanskap (landscape approach) semakin populer sebagai cara baru menjembatani pembangunan dan lingkungan hidup. Ia sering digambarkan sebagai “jalan tengah” antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Tidak mengherankan jika pendekatan ini diadopsi secara luas oleh berbagai pihak: pemerintah, korporasi, lembaga konservasi, hingga organisasi masyarakat sipil dengan tujuan yang beragam.

Namun, di balik popularitasnya, penting untuk menyadari bahwa pendekatan lanskap bukanlah instrumen yang netral. Ia selalu membawa kepentingan tertentu. Pasar global menggunakan pendekatan lanskap untuk memastikan keterlacakan komoditas dan memenuhi standar produk ramah lingkungan. Konservasionis menggunakannya untuk memperluas agenda perlindungan spesies langka melampaui kawasan lindung. Sementara itu, gerakan rakyat menjadikannya instrumen untuk memperkuat kedaulatan atas wilayah hidup dan sumber daya mereka.

Dalam praktik, elaborasi dari penjelasan diatas adalah seperti ini:

Pertama, pendekatan lanskap kerap dikemas sebagai pelayan pasar global. Dalam era green economy, produk harus dapat ditelusuri asal-usulnya: dari hulu ke hilir. Di sini, pendekatan lanskap berperan sebagai “sekrup” dalam rantai pasok komoditas internasional. Intinya adalah memastikan bahwa minyak sawit, kakao, kopi, atau kayu yang diproduksi di satu wilayah dapat memenuhi standar keberlanjutan yang ditentukan pasar global. Alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, pendekatan ini sering kali melatih mereka agar sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan jauh di luar negeri. Dengan demikian, lanskap dijadikan instrumen regulasi pasar, bukan instrumen kedaulatan rakyat.

Kedua, pendekatan lanskap juga beroperasi sebagai perpanjangan tangan konservasi. Krisis ekologi dan ancaman terhadap spesies langka mendorong konservasionis untuk keluar dari paradigma “kawasan dilindungi yang terisolasi” menuju tata kelola ruang yang lebih luas. Dengan pendekatan lanskap, konservasi mencoba merembes ke dalam perencanaan pembangunan, ekonomi sumber daya alam, bahkan tata ruang desa. Di satu sisi, ini membuka peluang integrasi yang lebih holistik. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah masyarakat lokal dipandang sebagai subjek dengan hak penuh atas ruang hidupnya, atau sekadar instrumen untuk memenuhi target konservasi global?

Ketiga, terdapat benih pendekatan lanskap yang tumbuh organik dari bawah, terutama dari gerakan rakyat. Di sini, lanskap dipahami bukan sebagai sekadar “ruang biofisik” yang bisa diatur melalui indikator keberlanjutan, melainkan sebagai bentang hidup rakyat, ruang tempat nilai, budaya, dan kedaulatan bertumbuh. Pendekatan ini berakar pada upaya masyarakat lokal mempertahankan wilayah kelola mereka dari ekspansi industri ekstraktif. Bagi mereka, lanskap bukan “lokasi produksi komoditas hijau” atau “habitat satwa liar”, melainkan rumah bersama, ruang hidup yang sarat makna sosial, spiritual, dan identitas kolektif.

Ragam wajah pendekatan lanskap ini memperlihatkan bahwa ia bukan instrumen yang netral. Sebaliknya, ia adalah arena kontestasi politik sumber daya alam. Di balik bahasa teknokratis tentang tata ruang, perencanaan hijau, atau keberlanjutan, selalu tersimpan pertanyaan fundamental: Lanskap untuk siapa? Untuk pasar global? Untuk konservasi spesies langka? Ataukah untuk meneguhkan kedaulatan rakyat atas ruang dan sumber daya?

Jika pertanyaan ini tidak dijawab secara jujur, maka pendekatan lanskap berisiko menjadi sekadar green masking, hiasan hijau yang memperhalus wajah eksplotasi. Tetapi jika ditarik kembali ke basis rakyat, pendekatan lanskap justru dapat menjadi medan strategis untuk mendemokratisasi pengelolaan sumber daya alam.

Pertanyaannya kemudian: apakah pendekatan lanskap ini saling bertentangan? Tidak selalu. Tidak ada hitam putih yang kaku. Dalam praktiknya, kepentingan pasar, konservasi, dan rakyat bisa saja beririsan, bisa saling menegasikan, tetapi juga bisa dikombinasikan. Justru di sinilah tantangan sekaligus peluangnya: bagaimana memastikan pendekatan lanskap tidak terjebak menjadi sekadar pelayan rantai pasok global atau alat legitimasi konservasi yang menyingkirkan rakyat, melainkan menjadi sarana untuk memperluas ruang keadilan.

Untuk itu, dibutuhkan kejelasan konseptual dan tujuan. Tanpa arah yang jelas, implementasi pendekatan lanskap akan melenceng: sibuk dengan jargon “hijau” namun mengabaikan realitas ketidakadilan yang dialami masyarakat di tingkat lokal. Politik lanskap bukan hanya tentang apa yang tampak seperti perencanaan tata ruang, indikator keberlanjutan, sertifikasi komoditas. Namun juga juga tentang apa yang tersembunyi: relasi kuasa yang timpang, kepentingan yang ditutup-tutupi, serta struktur ekonomi-politik yang menindas.

Karena itu, pendekatan lanskap seharusnya dipahami sebagai instrumen politik untuk menata ulang relasi kuasa. Ia adalah ruang negosiasi: siapa yang berhak menentukan masa depan suatu kawasan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan. Hanya dengan makna semacam ini pendekatan lanskap dapat menjadi alat yang adil, membongkar struktur yang merusak, membuka ruang bagi suara yang terpinggirkan, serta menghadirkan pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada rakyat dan bumi.

Dengan kata lain, pendekatan lanskap baru akan bermakna jika ia tidak hanya menghijaukan ruang, tetapi juga mendemokratisasi kekuasaan atas ruang.

David Ardhian 03/10/2025

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp