-oleh Hariadi K.
DARI ANGGAPAN SEDERHANA bahwa praktek atas konsep kelestarian sejauh ini belum banyak berhasil diterapkan, yang dicoba dibicarakan bukan pada prakteknya. Substansi konsep, terutama faktor penting yang seharusnya dipertimbangkan, perlu menjadi perhatian.
Secara fisik, untuk renewable resources, kelestarian diangankan jika produksi suatu komoditi tidak melebihi kemampuan medium tumbuh komoditi itu untuk memulihkannya; dibantu atau tanpa dibantu oleh kegiatan manusia.
Apa yang dikenal sebagai sustained yield principles dengan berbagai variasinya itu, dapat berjalan secara normal apabila terdapat dukungan secara sosial, ekonomi, maupun kelembagaan yang efektif. Karena dukungan-dukungan itu juga melibatkan kepentingan-kepentingan, maka situasi politik juga menentukannya.
Dari situ yang belum banyak digali adalah konsep sosial, ekonomi, kelembagaan dan politik seperti apa yang dapat mendukung sustained yield principle itu?
Yang telah populer adalah prinsip sustainable development yang dikembangkan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan secara simultan. Dalam hal ini, kegiatan yang disebut lestari haruslah dapat mewujudkan kelayakan finansial secara mandiri—dengan produksi mengikuti sustained yield principle tadi, dapat mengendalikan dampak lingkungan yang diakibatkannya, serta berkeadilan sosial. Maka, pasar monopoli yang harganya dpt merugikan produsen, misalnya, dapat menggagalkan upaya kelestarian.
Dengan begitu, batasan kelestarian bukan hanya berada di dalam lingkup sumberdaya alam semata, tetapi sudah mencakup efektivitas kelembagaan pemerintahan maupun kondisi politik. Maka disini dapat ditegaskan bahwa persoalan kelestarian adalah urusan negara, bukan hanya tergantung pelaku usaha atau rumah tangga.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana konsep relasi urusan publik itu dengan para pelaku usaha dan rumah tangga, sehingga terbangun sinergi untuk mewujudkan kelestarian?
Yang paling mudah dikemukakan adalah adanya kebijakan insentif/disinsentif bagi pelaku usaha dan rumah tangga yang diharuskan memenuhi syarat sustained yield principle di atas. Insentif/disinsentif pada dasarnya mempengaruhi perilaku agar sejalan dengan tujuan kelestarian, dengan tekanan apabila melanggarnya akan mengalami kerugian bagi dirinya sendirinya. Pendekatan ini bisa berjalan melalui mekanisme pasar, sehingga apabila efektif akan mengurangi kegiatan pengawasan command and control yang biasanya juga bermasalah. Misalnya kapasitas pengawasan rendah, terdapat konflik kepentingan, korupsi, maupun penegakkan hukum yang lemah.
Jika begitu, lembaga-lembaga negara seharusnya juga terikat pada kepentingan kelestarian secara langsung. Artinya, kerugian negara akibat pengelolaan sumberdaya alam yang tidak lestari, semestinya menjadi ukuran kinerja lembaga-lembaga negara itu. Pada saat lembaga-lembaga negara mempunyai tolok ukur kinerjanya sendiri, biasanya kebijakan yang dikeluarkan juga hanya terbatas untuk kepentingan capaian kinerjanya itu. Pada kondisi itu, by design, persoalan kelestarian akan selalu diletakkan di luar jangkauan peran lembaga-lembaga negara tadi.
Siapa yang diuntungkan atas kelestarian atau ketidak-lestarian pengelolaan sumberdaya alam, juga menentukan kebijakan kelestarian bisa dijalankan atau tidak.
Jika ada situasi tidak lestari dan yang diuntungkan yang punya kekuasaan tinggi (absolute power), maka situasi tidak lestari akan berlanjut. Karena “keuntungan” itu bisa diperoleh dari kondisi bad governance penyebab ketidak-lestarian, yang justru harus dipertahankan. Situasi lestari yg menguntungkan orang banyak, berkuasa atau tidak berkuasa, dan berjangka-panjang, menjadi tidak mudah mendapat dukungan secara politik, ketika pemain-pemain politik hanya bekerja untuk kepentingan kelompoknya.
Jika begitu maka tata-kelola perusahaan (good corporate governance) dan kepemerintahan yang baik (good governance) menjadi syarat kelestarian. Keterbukaan informasi, partisipasi maupun akuntabilitas bagi publik bisa menjadi prinsip-prinsipnya. Aspek-aspek itu dianggap penting, karena dalam setiap pengambilan keputusan ada implikasi bagi kepentingan publik.
Dengan berbagai kasus korupsi sumberdaya alam yang telah terungkap, adanya lembaga-lembaga negara yang masih menutup diri dan tidak partisipatif menunjukkan adanya kepentingan, jaringan-jaringan yang mendukung, maupun kekuasaan sebagai penopang bekerjanya kepentingan kelompok. Pada tingkat yang sangat akut, sayangnya, bahkan keputusan-keputusan pemanfaatan sumberdaya alam—yang tidak lestari dan tidak adil, bisa dilakukan secara legal. Keputusan itu bisa legal, karena dilaksanakan sejalan dengan kebijakan publik maupun peraturan-perundangan yang sah. Tetapi, penetapannya dilakukan dengan tidak terbuka dan tidak akuntabel untuk kepentingan kelompok tertentu, melalui penggunaan peran negara (state capture).
Ilmu Lapangan_Transdisiplin
Pada tingkat praksis, kelestarian sangat ditentukan bagaimana keputusan diambil. Antara perusahaan yg relatif punya daya lenting terhadap kapasitas finansial dengan rumah tangga yang harus tersedia kebutuhan dasar hidup hari itu juga, sangat berbeda respon masing-masing thd kelestarian. Kisah sukses perusahaan melindungi hutan alam sbg sumber air untuk mengelola hutan tanaman di lahan gambut, serta masyarakat yang mengubah komoditi arang (menebang mangrove) menjadi komoditi udang dan kepiting (melindungi mangrove), bisa terjadi, karena ditunjang teknologi, ilmu pengetahuan maupun kearifan lokal dan berani melawan mainstream.
Itu artinya, jalan raya tanpa rambu tidak selalu menjadi sebab jalan macet atau tabrakan. Situasi yang buruk untuk mewujudkan kelestarian belum tentu membuat perusahaan atau masyarakat berprilaku buruk. Menuju dan mempertahankan kelestarian bisa terwujud karena terbuka dalam penggunaan ilmu pengetahun, teknologi maupun kearifan lokal. Kebijakan dan peraturan sebaiknya memperhatikan kenyataan itu.
Penutup
Beberapa referensi mengenai kutukan sumberdaya alam ( resources curse ) menunjukkan bahwa negara-negara yang kaya atas sumberdaya alam merupakan paradox, karena justru cenderung otoritarian, banyak konflik, melakukan pembiaran dan berujung pada kegagalan mensejahterakan rakyatnya. Bahkan paradoksal itu berlanjut ketika sumberdaya alam semakin langka.
Menghilangkan paradoksal itu, sebaiknya bukan hanya bertumpu pada regulasi-regulasi mainstream yang dianggap sebagai hal penting cara melestarikan, tetapi perlu masuk pada transdisiplin peran ilmu pengetahuan, teknologi maupun kearifan lokal. Itu artinya harus bisa meninggalkan keangkuhan berdisiplin tunggal.