Dalam mengenali “transdisiplinaritas”, kita akan menjumpai beragam definisi dan kajian yang tak terbatas. Salah satu hal yang penulis temukan ketika mencoba memahami istilah tersebut, ialah tak lain dari sebuah pendekatan. Namun pada kenyataannya, nilai-nilai dalam transdisiplinaritas telah melampaui pendekatan, landasan berpikir, maupun keilmuan yang dimiliki oleh setiap individu. Bahkan, tak sedikit yang menganggap bahwa transdisiplinaritas merupakan way of life atau jalan hidup, yang memungkinkan adanya ruang untuk berpikir, berdialog, dan bertransformasi secara terbuka.
Transdisiplinaritas hadir sebagai salah satu pendekatan alternatif, yang dilakukan untuk mencapai kepentingan dan tujuan bersama. Istilah “transdisciplinarity” pertama kali digaungkan pada tahun 1970-an, tepatnya oleh seorang filsuf dan psikolog Swiss bernama Jean Piaget.[1] Adapun sejumlah pemikir dan peneliti yang berpengaruh dalam mengkaji transdisiplin, yaitu Erich Jantsch, André Lichnerowicz, Basarab Nicolescu, Jill Jager, Martina Padmanabhan, dan sebagainya. Merujuk pada penelitian Margaret G. Wolff et al (2019), transdisipliner diartikan sebagai prinsip ilmiah yang reflektif, integratif, dan didorong oleh metode untuk menciptakan solusi atau perubahan di tingkat masyarakat. Termasuk, untuk mengidentifikasi dan menggabungkan berbagai jenis pengetahuan lokal dan sains, sebagai upaya kolektif dalam produksi pengetahuan. Kemudian, dengan mengakui nilai-nilai lokal yang ada, konteks sosial, ekologis, politik, dan budaya, hal inilah yang akan menjadi kerangka dalam membedah, sekaligus menjawab kompleksitas dalam kehidupan manusia.[2]
Penelitian transdisipliner berkaitan dengan tiga jenis pengetahuan, di antaranya pengetahuan sistem, pengetahuan target, dan pengetahuan transformasi. Ia menggambarkan ketergantungan yang sama dalam proses penelitian. Salah satu pemenuhan syarat transdisiplin; dalam mengurai masalah penelitian, yakni merancang tahapan proses penelitian dalam urutan yang berulang. Penelitian yang membahas masalah kehidupan, terdiri atas tahap identifikasi masalah, perumusan masalah, penyelidikan, dan tahap yang menyediakan hasil. Dalam penelitian transdisiplin, urutan tahapan dan jumlah sumber daya yang didedikasikan di setiap tahap, bergantung pada jenis masalah yang diselidiki dan landasan pengetahuannya.[3]
Kini, perubahan iklim yang berdampak hampir di seluruh permukaan Bumi, telah menggandakan realita akan ancaman dan kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh manusia. Kita yang kerap mengaku bermoral, makhluk paling etis dan sebagainya, justru menjadi aktor dalam penghancuran ruang hidup di planet ini. Perubahan cuaca yang ekstrem dan beragam jenis konflik yang ada, telah menjadi sebuah keniscayaan. Dan di saat inilah kita mulai menyadari, bahwa pertumbuhan tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya prasyarat dalam kemajuan.
Diperlukan orientasi pada nilai-nilai keberlanjutan, termasuk di dalam transdisiplinaritas yang berupaya meretas batas keilmuan, serta mampu menghadirkan beragam sudut pandang atas solusi maupun perubahan yang bersifat kontekstual. Sebagai contoh, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan membantu mengurai seperti apa, industri yang berjalan seharusnya turut memperhatikan aspek lingkungan guna menghindari risiko kerusakan atau krisis lingkungan di masa depan. Hal ini juga dapat memicu inovasi dan gagasan progresif lainnya atas pemajuan ekonomi dan lingkungan, sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Stockholm 1976 di mana manusia memiliki hak dasar atas kebebasan, kesetaraan, dan kondisi kehidupan yang layak dalam lingkungan yang berkualitas, untuk kehidupan yang bermartabat dan sejahtera. Di samping itu, The Charter of Transdisciplinarity (1994)[4] memuat salah satu pasal terkait yakni, “any attempt to reduce the human being by formally defining what a human being is and subjecting the human being to reductive analyses within a framework of formal structures, no matter what they are, is incompatible with the transdisciplinary vision.” Dengan kata lain, segala upaya untuk mereduksi manusia dengan mendefinisikan secara formal apa manusia itu, serta menundukkan manusia pada analisis reduktif dalam kerangka struktur formal; tidak peduli apapun itu, tidak sesuai dengan visi transdisipliner.
Oleh karena itu, kita perlu mentransformasikan nilai-nilai lokal sebagai salah satu solusi atas perubahan saat ini. Namun, seperti apa sistem yang menghargai iklim keterbukaan dan partisipasi multipihak? Untuk itu, mari kita amati lebih lanjut transdisiplinaritas dalam praktiknya. Ketika kita bersedia untuk menjadi terbuka dan “hadir” seutuhnya; dengan menanggalkan ego, kerangka, ataupun latar belakang yang kita miliki, di saat itulah kita melihat seperti apa dan bagaimana transdisiplinaritas bekerja.
[1] Bertus Haverkort and Coen Reijntjes, “Transdisciplinarity: Past, Present, and Future”, Moving Worldviews – Reshaping sciences, policies and practices for endogenous sustainable development, COMPAS Editions (2006), http://basarab-nicolescu.fr/Docs_articles/TRANSDISCIPLINARITY-PAST-PRESENT-AND-FUTURE.pdf, p. 142.
[2] Margaret G. Wolff, Jessica J. Cockburn, et al. “Exploring and Expanding Transdisciplinary Research for Sustainable and Just Natural Resource Management”, Ecology and Society (2019), p. 1.
[3] Gertrude H. Hardon, Holger Hoffman-Riem, et al. “Handbook of Transdisciplinary Research”, Springer (2008), p. 19.
[4] B. Nicolescu, “Manifesto of Transdisciplinarity”, translated by K. Claire Voss (Albany: State University of New York Press, 2002), https://inters.org/Freitas-Morin-Nicolescu-Transdisciplinarity, p. 147-152.
Mittelstraß, Jürgen. 2011. On Transdisciplinarity. Estonia: Estonian Academy Publishers. See more on https://kirj.ee/public/trames_pdf/2011/issue_4/trames-2011-4-329-338.pdf.
Rigolot, C. Transdisciplinarity as a Discipline and a Way of Being: Complementarities and Creative Tensions. Humanit Soc Sci Commun 7, 100 (2020). https://doi.org/10.1057/s41599-020-00598-5
Engaging with Landscape Initiatives: A Practical Guide for Supply Chain Companies. Version 2, September (2020).