Lubuk Larangan adalah bagian dari manifestasi bentuk pemanfaatan alam. Secara etimologis, lubuk larangan terdiri dari dua kata yaitu lubuak dan larangan. Kata lubuak berasal dari sebutan masyarakat terhadap bagian yang dalam dari sebuah sungai yang umumnya sebagai tempat berkembang-biak bagi ikan. Sementara, kata larangan berarti aturan yang melarang terhadap suatu tindakan. Dengan demikian, lubuk larangan dapat dipahami sebagai daerah yang secara alami merupakan tempat berkembang-biak ikan dan ekosistem air lainnya, serta daerah tersebut ditetapkan sebagai area terlarang untuk diambil hasilnya dalam periode waktu tertentu baik dengan cara apapun apalagi dengan cara yang dapat merusak lingkungan.
Kawasan lubuk larangan menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat di kawasan suaka margasatwa Rimbang Baling. Kawasan lubuk larangan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat yang hidup di sepanjang sungai Subayang. Ketergantungan masyarakat Subayang terhadap sungai Subayang membuat masyarakat senantiasa menjaga dan melestarikan kawasan sungai. Penetapan kawasan lubuk larangan didasarkan oleh kesepakatan masyarakat dan tertuang dalam aturan adat serta hukum adat yang berlaku untuk komunitas adat Rantau Kampar Kiri.
Kawasan ini memiliki kedalaman 3-4 meter yang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan-ikan besar (masyarakat lokal menyebut bangkagh atau sarang ikan) seperti ikan Tapa, Geso, Belida dan lainnya. Kawasan lubuk larangan ditandai dengan tali yang melintang di atas sungai.
Tradisi Mencokau Ikan di Lubuk Larangan
Masyarakat adat yang berdiam di sepanjang Sungai Subayang bersama-sama menjaga lubuk larangan ini, salah satunya dengan melakukan tradisi “Baliak Batobo Mancokau Ikan di Lubuk Larangan”. Suatu tradisi yang berarti pulang bersama dan berkumpul bersama di kampung untuk melaksanakan panen ikan di Lubuk Larangan. Dahulunya, tidak semua orang di Subayang yang melakukan hal ini. Namun, setelah orang-orang melihat banyak keuntungan dan manfaat yang didapat, maka hingga kini tradisi Mancokau Ikan di Lubuk Larangan terus membudaya.
Proses diperbolehkannya memanen atau menangkap ikan di lubuk larangan akan tiba waktunya apabila adanya keputusan dan kesepakatan dari Musyawarah Adat. Pemanenan ikan biasanya dilakukan setahun sekali, misal pada musim kemarau atau menjelang idul fitri. Penangkapan ikan di dalam lubuk Larangan tidak di perkenankan untuk memakai alat yang bersifat memusnahkan ikan, seperti racun. Alat yang diperkenankan untuk di pakai yaitu jaring, jala dan senapan dengan anak panah besi (mirip harpoon).
Setelah ditentukan kesepakatan hari yang sesuai oleh ninik mamak (pemangku adat), maka pemuda dan masyarakat bersama-sama mempersiapkan lokasi, yaitu dengan membentuk pagar di sekitar lubuk larangan yang berfungsi untuk tempat menempelnya jaring yang terbuat dari benang atau tali plastik. Pemasangan jaring berfungsi untuk menghambat ikan- ikan yang ada di lubuk larangan agar tidak ada yang akan lari keluar sewaktu proses panen dilakukan. Mencokau dimulai dengan memainkan musik tradisional seperti musik celempong dan gendang gong. Dengan memakai pakaian Adat yang lengkap, yaitu baju teluk belanga dan celana lebar yang serba Hitam, para ninik mamak turun ke Sungai (Lubuk Larangan) untuk melakukan campak pertama (lempar jala pertama). Untuk hasil tangkapan ikan yang beratnya dibawah 1 kg akan dibagi-bagikan secara merata kepada masyarakat sedangkan untuk ikan yang beratnya diatas 1 kg akan dilelang dan uang hasil pelelangan digunakan untuk kas desa.
Tidak hanya sebagai pemasukan kas desa, tradisi ini juga mampu memberikan rasa persaudaraan yang kuat, meningkatkan gotong royong, menciptakan rasa kekompakan masyarakat, menumbuhkan rasa peduli terhadap kampung dan berperan dalam pelestarian ikan, sungai serta hutan disekelilingnya. Selain masyarakat lokal, pendatang luar juga diperbolehkan untuk menangkap ikan selagi masih mengikuti aturan yang telah disepakati.
Etnosains untuk Keberlanjutan Alam
Manusia merupakan makhluk yang tak akan pernah terpisahkan dari alam. Adanya lubuk larangan, baik disadari atau tidak merupakan bentuk kearifan budaya yang bertujuan untuk melestarikan alam serta menjaga kelangsungan makhluk hidup di dalamnya. Secara ekologi dampak kearifan budaya lubuk larangan adalah mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan air serta ekosistem air. Ikan-ikan yang ada di lubuk larangan juga akan terus terjaga karena di lubuk larangan hanya diperbolehkan menangkap ikan satu kali dalam satu tahun. Selain itu, di lubuk larangan hanya dibenarkan menangkap ikan berukuran besar yaitu dengan ukuran sekitar minimal empat jari atau 250 gram/ekor (Fauzul, 2013). Hal ini bertujuan agar ikan-ikan berukuran kecil tersebut diberi kesempatan untuk besar dan dapat bertelur agar ikan-ikan diperairan tersebut tidak habis atau terputus regenerasinya. Ikan yang besar juga memiliki daging yang lezat dan lebih gurih.
Peralatan yang digunakan dalam memanen ikan di lubuk larangan dapat memberikan dampak positif kepada lingkungan sekitarnya. Ikan ditangkap menggunakan peralatan tradisional seperti jaring (net) yang berukuran tiga jari (Fauzul, 2013). Hal ini bertujuan agar ikan-ikan berukuran kecil tidak tertangkap sehingga memiliki kesempatan untuk tumbuh dan bertelur. Dalam memanen ikan, sarana yang digunakan adalah Sampan. Sampan (boat) yang terbuat dari kayu, sampan ini memiliki kapasitas mencapai 300 Kg (tiga atau empat orang). Peralatan-peralatan yang digunakan tersebut sangat ramah terhadap lingkungan dan tidak akan memberikan dampak negatif pada sungai ataupun ikan-ikan yang ada.
Budaya ini menjadi bukti nyata bahwa jika manusia dengan benar-benar menjaga alam, maka alam akan menjadi sahabat terbaik bagi manusia. Masyarakat Riau, terutama penduduk Subayang sangat berharap budaya ini terus didukung oleh semua pihak dan pemerintah sehingga dapat terjaga sampai ke generasi mendatang.
Juara 1 Essay Contest 2020
Oleh: Purwanto Putra
Editor: Rosyid Amrulloh