Tradisi Badu untuk Keseimbangan Alam Laut dan Keadilan sosial

Tradisi badu adalah tradisi masyarakat Watodiri, Lembata, Nusa Tenggara Timur dalam rangka mengelola sumber daya alam laut.

Juara 2 Essay Contest 2020
Oleh: Agustinus Gergorius Raja Dasion
Editor: Rosyid Amrulloh

 

Tradisi badu adalah tradisi masyarakat Watodiri, Lembata, Nusa Tenggara Timur dalam rangka mengelola sumber daya alam laut. Tradisi badu dilakukan oleh masyarakat setempat di pesisir pantai Watodiri. Batas laut kawasan badu yaitu Mado Meting di sebelah timur dan Wato Kobu di sebelah barat.  Jarak antara batas badu di timur dan barat adalah sekitar 900 m, sedangkan jarak dari garis pantai ke tengah laut adalah 200 m.

Melalui tradisi badu, masyarakat setempat membuat berbagai aturan tentang cara mengola sumber daya alam laut dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan alam dan keadilan sosial. Beberapa aturan tersebut seperti daerah larangan serta cara dan waktu menangkap ikan. Tradisi badu ini memiliki dua manfaat yaitu untuk konservasi sumber daya lokal dan sebagai upaya menumbuhkan sikap altruisme terhadap janda dan yatim piatu.

 

Struktur Sosial dan Adat

Tradisi badu didukung oleh struktur sosial dan adat yang kuat dari masyarakat Watodiri sehingga tradisi badu dapat terjaga dengan baik. Struktur teratas tradisi badu disebut Belen Raya. Belen Raya adalah nama suku yang dijadikan sebagai raja dan harus memimpin desa. Belen Raya memiliki hak untuk membuka dan menutup tradisi badu. Suku yang dianggap sebagai raja adalah Do Making. Dalam struktur pemerintahan tradisional, suku Do-Making adalah kepala dari semua kegiatan desa. Suku ini juga dipercaya untuk memimpin dan memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan publik masyarakat Watodiri. Meskipun pemerintah desa telah dibentuk, struktur adat ini terus menjalankan perannya, khususnya dalam ritual tradisi badu.

Struktur kedua masyarakat Watodiri adalah Suku Matarau yang bertugas menjaga pantai agar tradisi badu dapat berjalan dengan baik. Suku Matarau bertugas melaporkan dan berkomunikasi dengan Balen Raya apabila terjadi pelanggaran terhadap tradisi badu. Suku Matarau memiliki hak pertama untuk melepaskan jaring dan menangkap ikan dalam tradisi badu.

Struktur ketiga adalah Ata Molan atau dukun tradisinional yang harus memimpin ritual desa termasuk tradisi badu. Ata Molan akan membacakan puisi atau kalimat tradisional di seluruh rangkaian ritual badu. Ata Molan juga memiliki hak memberi makan kepada dewa laut dan meminta berkat dari laut untuk para nelayan selama di laut.

Struktur keempat adalah janda dan anak yatim (kide knuke tmuung blolon). Janda dan anak yatim dianggap tidak mampu menghidupi diri sendiri sehingga tanggung jawab semua penduduk desa untuk mendukung kehidupan mereka. Latar belakang ini menempatkan para janda dan anak yatim memiliki tempat khusus dalam tradisi badu.

Struktur kelima adalah masyarakat desa Watodiri secara umum kecuali yang sudah disebutkan sebelumnya. Seluruh masyarakat desa wajib berpartisipasi dalam menjalankan tradisi badu sepenuh hati.

 

Aturan Tradisi Badu

Tradisi badu selalu dimulai dan ditutup dengan ritual adat. Ritual adat ini disebut amet dan dilakukan di pantai Watodiri (dalam bahasa daerah disebut kwakas). Tujuan dari ritual ini adalah untuk meminta berkat dan keselamatan saat para nelayan berada di laut. Setelah itu, pemimpin adat (Do Making) akan “memanggil” semua penghuni laut untuk ambil bagian dalam hidangan yang telah disiapkan. Ritual ini dipimpin oleh Ata Molan. Ata Molan akan memanjatkan syair adat (amet) kepada leluhur dan penguasa laut. Ritual sebelum membuka tradisi badu bersifat wajib sebab masyarakat percaya bahwa laut memiliki “roh” yang harus dijaga dan dihormati.

Setelah melakukan ritual pembukaan, gong (alat musik tradisional) akan dibunyikan sebagai tanda dibukanya kawasan badu. Suku yang berhak melepaskan jaring pertama adalah suku Matarau sebagai penjaga pantai (nama watan). Setelah itu, semua orang dapat mengambil bagian dalam menangkap ikan di daerah badu tersebut. Setiap orang yang menangkap ikan wajib memberikan satu ekor ikan kepada tuan tanah dan juga kepada para janda dan anak yatim. Kebiasaan ini menjadi hal yang wajib karena ada konsekuensi adat yang akan ditanggung jika kebiasaan tersebut dilanggar.

 

Tradisi Badu untuk Janda dan Yatim

Kawasan konservasi badu ditutup kembali ke esokan harinya dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan memancing bagi nelayan yang memiliki perahu dayung atau perahu bermotor. Kawasan konservasi badu kembali hanya diperuntukkan bagi para janda dan yatim piatu. Janda dan yatim piatu dianggap tidak memiliki perahu sehingga mereka bisa mendapatkan ikan hanya dengan memancing atau menjaring ikan di wilayah pesisir pantai Watodiri.

 

Sanksi bagi Pelanggar Tradisi Badu

Apabila terjadi pelanggaran atau ditemukan seseorang menangkap ikan di daerah terlarang (daerah badu), orang tersebut akan mendapat sanksi adat. Sanksi adat yang dikenakan adalah dengan memberi seekor kambing untuk desa seharga 3 juta Rupiah. Uang itu akan digunakan untuk menjalankan pemerintahan desa, terutama dalam melaksanakan semua ritual yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Hasil tebusan ini dikelola oleh seseorang yang kompeten berdasarkan pemilihan oleh kepala suku.

Jika seseorang tersebut tidak ingin membayar denda yang telah dibebankan, sanksi terakhir adalah mengusir orang tersebut dari desa Watodiri. Biasanya, orang yang melanggar akan segera membayar denda adat karena mereka percaya akan adanya hubungan adat dan realitas hidup mereka selanjutnya. Kepatuhan masyarakat lokal terhadap nilai adat menjadi hal yang sering dijumpai di pulau Lembata. Di Lamalera, di bagian selatan pulau Lembata misalnya, terjadinya musibah di laut selalu dikaitkan dengan dosa atau kesalahan yang mungkin tidak dibayar atau ditebus sebelumnya (Barnes, 1989).

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *