Hutan Lore Lindu di Bawah Kuasa Masyarakat Adat: Antara Kearifan Lokal dan Campur Tangan Negara

Bagi masyarakat adat, hutan adalah ibu. Alam adalah ruh. Sungai menjadi tempat budaya mereka tumbuh. Ketika kita melihat sungai, bumi, dan kayu sebagai sasana, masyarakat adat memandangnya sebagai kehidupan, filsafat, dan pandangan tentang dunia
Essay-CTSS

Bagi masyarakat adat, hutan adalah ibu. Alam adalah ruh. Sungai menjadi tempat budaya mereka tumbuh. Ketika kita melihat sungai, bumi, dan kayu sebagai sasana, masyarakat adat memandangnya sebagai kehidupan, filsafat, dan pandangan tentang dunia. Selama ribuan tahun, mereka telah berkawan dengan alam; tak sekali pun mereka mengelolanya secara serampangan, apalagi menjarahnya atas dasar kekuasaan perorangan. Lewat hutan yang hijau dan subur, masyarakat adat memproduksi tanaman untuk kehidupan –berkebun dan menanam sayur mayur. Praktik kehidupan semacam itu mereka terapkan jauh dari hingar bingar modernitas. Berbekal pengetahuan dan pranata adat, mereka berhasil mengelola alam dengan arif.

Seiring berubahnya Indonesia menjadi negara modern, terdapat upaya negaraisasi yang begitu masif untuk menertibkan tatanan masyarakat adat. Lewat Undang-Undang Kehutanan, wilayah adat diambil alih menjadi hutan negara. Masyarakat adat kemudian tersingkir, dianggap sebagai hama dan pencuri atas berbagai kekayaan hutan. Pengetahuan adat mereka juga dianggap terbelakang, tidak ilmiah, mistik, magis, serta diidentikan dengan perdukunan (Perempuan AMAN, 2017). Arogansi negara yang tidak memandang arti penting masyarakat adat bagi kelestarian hutan telah memicu lahirnya berbagai konflik berkepanjangan. Terutama di wilayah taman nasional sebagai produk negaraisasi, konflik kerap muncul akibat kepentingan negara sering bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat. Departemen Kehutanan (2007) menyebutkan bahwa hampir seluruh taman nasional di Indonesia selalu melekat konflik di dalamnya. Beberapa contohnya terjadi di kawasan konservasi (taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Banten, Taman Nasional Bantimurung Sulawesi Selatan, Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat, dan kawasan taman nasional lainnya.

Bertolak belakang dengan kondsi di atas, masyarakat adat Ngata Toro yang hidup di sekitar hutan Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan wajah yang berbeda. Kearifan lokal mereka dalam menjaga hutan berkelindan secara harmonis dengan tangan-tangan negara. Sulit untuk menemui hubungan semacam itu pada masyarakat adat lain di Indonesia. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana keberhasilan kearifan lokal masyarakat adat Ngata Toro dalam menjaga keberlanjutan kelestarian hutan serta bagaimana campur tangan negara terlibat di dalam proses itu.

Pengetahuan Lokal dan Kelestarian Hutan

Terbentuk sejak ratusan tahun sebelum pra-kolonialisme, masyarakat adat Ngata Toro kini mewujud menjadi komunitas yang mapan di wilayah Sulawesi Tengah. Mereka menempati wilayah adat yang didominasi oleh daerah pegunungan. Di dalam wilayah itu mengalir beberapa sungai besar, seperti Sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu. Wilayah pemukiman dan pertanian mereka merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua barisan bukit. Dengan kontur seperti itu, perkembangan perkampungan masyarakat adat Ngata Toro mengikuti kontur fisik yang ada dan membentuk serupa huruf “W“, apabila dilihat dari sisi kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman penduduk terkosentrasi di salah satu potongan yang hampir simetris, sementara wilayah persawahan tersebar di sepanjang jari-jari huruf “W“ tersebut (Mahfud dan Tohake, 2013).

Sebagai komunitas adat yang telah mapan, masyarakat Ngata Toro memiliki konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didasarkan pada pengetahuan lokal warisan nenek moyang. Dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak memperolehnya melalui perampasan atau pengambilan secara serampangan, melainkan melalui sebuah transaksi yang memiliki nilai keabsahan kuat dalam hukum adat mereka. Masyarakat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas sumber daya alam dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (katumpuia hangkani) dan hak pemilikan individu (katumpuia hadua). Wilayah sumber daya alam yang dimiliki bersama harus dikelola secara komunal dan hasilnya dibagi secara merata lagi adil. Sementara wilayah hak kepemilikan individu sepenuhnya berada di bawah kuasa masing-masing individu, tanpa dicampuri oleh individu lain. Aturan adat itu sangat dipatuhi oleh masyarakat Ngata Toro, sehingga hampir tidak pernah menimbulkan konflik perebutan lahan dan sumber daya di Hutan Lore Lindu.

Dalam mengelola kekayaan hutan, masyarakat adat Ngata Toro secara turun-temurun juga memegang kuat falsafah mopahilolonga katuvua yang berarti mengurus alam secara arif. Menurut falsafah tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh, berkembang biak dan saling menghidupi, yaitu manusia (tauna), hewan (pinatuvua), tumbuh-tumbuhan (tinuda). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya adalah keadaan tempat yang direncanakan akan dibuka; kehendak penjaga hutan untuk memberikan izin pembukaan lahan; himbauan agar senantiasa memperhatikan hulu sungai dan kemiringan yang terjal (taolo); tidak membenarkan menebang kayu sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah apalagi memperjualbelikannya ke tempat lain, dan lain-lain.

Selain berpegang pada falsafah mopahilolonga katuvua, masyarakat Ngata Toro dalam memanfaatkan sumber daya alam juga berpegang pada toipetagi (larangan) dan toipopalia (pantangan). Toipetagi (larangan) meliputi aturan-aturan adat yang tidak memperkenankan mereka membuka hutan atau mengolah hutan di mana terdapat mata air ‘ue ntumu’ dan mata air ‘ue bohe’; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun kali kecil yang melewati pemukiman penduduk; larangan menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat tradisional seperti pohon beringin dan melinjo; larangan menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal; larangan keras pembukan lahan di wana ngkiki;  serta larangan membuka kebun di bekas pangale, oma, balingkea, dan pohawa pongko milik orang lain.

Sedangkan toipopalia (pantangan) meliputi pantangan membawa hasil hutan seperti rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah banyak melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah; pantangan mengilir rotan di sungai pada masa padi akan keluar buah sebab akan mempengaruhi keberhasilan panen; pantangan membuka hutan di mana diketahui ada pohon damar; serta pantangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung di dalam hutan.

Aturan-aturan tersebut diikuti oleh berbagai sanksi adat apabila dilanggar. Beberapa sanksi itu di antaranya adalah apabila masyarakat mengelola hasil hutan berupa kayu, rotan, pakanangi, gaharu, dan damar serta memiliki sumber daya hutan tidak berdasarkan hukum adat akan dikenakan sanksi berupa tolu ongu, tolu mpulu, tolu ngkau (denda berupa tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain mbesa) yang apabila dirupiahkan setara dengan 5 juta rupiah. Sanksi tersebut juga berlaku apabila masyarakat melakukan pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi seperti anoa dan babi rusa. Selain itu, apabila masyarakat melakukan penangkapan ikan yang menggunakan alat kimia, strum, dan racun akan dikenakan sanksi adat berupa rongu, rompulu, rongkau (dua ekor kerbau atau sapi, dua puluh dulang, dua lembar kain mbesa) atau setara dengan 3 juta rupiah. Sedangkan dalam hal penggunaan senjata api, senapan angin, bedil untuk memburu binatang di hutan akan dikenakan sanksi adat berupa hangu, hampulu, hongkau (satu ekor hewan kerbau atau sapi, sepuluh dulang, satu lembar kain mbesa) atau setara dengan nilai 1,5 juta rupiah.

Sejak tahun 1993, masyarakat adat Ngata Toro telah melakukan berbagai prakarsa untuk menegaskan kembali tatanan dan aturan adat tersebut berikut lembaga adat dan upaya transformasi tradisi dalam rangka mengelola sumberdaya alam berbasis komunitas. Tujuan utama dari ditegaskannya prakarsa tersebut adalah untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis Lore Lindu —yang kini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore Lindu—melalui pranata sosial-budaya dan kepemimpinan lokal. Hal itu mereka lakukan semata-mata agar anak cucunya dapat memperoleh manfaat optimal dari perlindungan ekosistem hutan tropis serta menjamin keadilan antar-generasi dalam hal akses, kontrol, dan pemanfaatan sumber daya alam setempat. Bukan tanpa alasan, berbagai pengetahuan lokal yang hidup dalam alam pikir masyarakat Ngata Toro telah terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem di hutan Lore Lindu selama ratusan hingga ribuan tahun lamanya. Manusia yang mendiami kawasan itu hidup secara harmonis bersama dengan satwa, tumbuhan, dan segala kekayaan alam yang ada di dalamnya. Mereka hanya mengambil sedikit dari alam, selebihnya mereka biarkan alam terus tumbuh lestari; tanpa kebakaran hutan apalagi konflik perebutan sumber daya alam yang berkepanjangan.

 

Campur Tangan Negara

Memang sudah menjadi watak negara untuk selalu hadir dalam mengatur setiap sendi-sendi kehidupan warganya, termasuk masyarakat adat yang ada di ribuan kilometer jauhnya dari pusat Indonesia. Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di kawasan Hutan Lore Lindu, negara hadir justru bukan untuk menyingkirkan kepentingan masyarakat adat atas kekayaan hutan, melainkan untuk membuat kesepakatan mengenai bagaimana kepentingan masyarakat adat dan kepentingan negara dapat diakomodasi secara bersamaan –sesuatu yang jarang terjadi dalam prinsip pengelolaan hutan di Indonesia.

Pemerintah Indonesia kemudian menerapkan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau Community Conservation Agreement dengan masyarakat adat Ngata Toro. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran satu sama lain. Melalui KKM pula, para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan pemerintah dan masyarakat adat, sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis dalam rangka memelihara dan melindungi hutan.

Dalam praktiknya, masyarakat adat Ngata Toro diperkenankan untuk memanfaatkan kekayaan hutan guna memenuhi kebutuhan dasarnya, sebagaimana yang telah diatur di dalam hukum adat mereka. Sementara negara hadir untuk turut memperkuat posisi hukum adat apabila ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang berpotensi mengganggu kelestarian hutan. Negara juga hadir untuk ikut memastikan —dalam kerangka hukum formal khas negara— kekayaan biodiversitas Hutan Lore Lindu dimanfaatkan secara arif tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem, tentunya dengan tidak menafikan arti penting kearifan lokal masyarakat adat. Kedua belah pihak berada dalam hubungan yang setara lagi harmonis untuk saling bahu membahu melestarikan kekayaan Hutan Lore Lindu.

Penulis: Abdullah Faqih
Juara Harapan 1 Essay Contest 2020

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *