Center for Transdisciplinary and Sustainabiliy Sciences (CTSS) adalah pusat studi yang mengembangkan ilmu-ilmu terbaru tentang keberlanjutan (sustainability). Salah satu misi yang diusung CTSS IPB adalah mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks (wicked problem) dengan menggunakan pendekatan transdisiplin, dimana kearifan lokal/tradisional menjadi sumber pengetahuan yang penting.
Upaya tersebut diwujudkan dengan diselenggarakannya Essay Contest ke-2 di tahun 2021. Melalui kegiatan ini, diharapkan lahirnya “new insights” yang dapat menjadi inspirasi dalam melahirkan Sains Keberlanjutan (Sustainability Sciences).
Penyelenggaraan essay contest ini berlangsung dari 4 Januari sampai 16 April 2021. Jumlah peserta yang telah mengirimkan artikel adalah sebanyak 75 peserta. Kegiatan 2nd Essay Contest ini diikuti secara perorangan ataupun kelompok. Kegiatan ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu kategori mahasiswa sarjana (S1) dan pascasarjana (S2/S3) yang berasal dari seluruh Indonesia.
Prof Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University mengatakan, kegiatan essay contest ini bertujuan menggali informasi pengetahuan lokal tentang sumber daya alam, terutama yang memiliki nilai-nilai keberlanjutan.
“Kami berusaha menggali, menemukan, mengawinkan, pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern untuk menghasilkan Sains Keberlanjutan (Sustainability Science),” ujar Prof Damayanti dalam kuliah umum dan pengumuman pemenang 2nd Essay Contest, 16/4.
Essay contest ini juga, katanya, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan generasi muda tentang pengetahuan lokal mengenai sumber daya alam dari berbagai daerah di Indonesia.
Direktur Jenderal Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid turut mengapresiasi penyelenggaraan essay contest ini. Melalui kuliahnya yang berjudul Sains Teknologi dan Masyarakat: Mempraktikkan Teori dan Mentorikan Praktik, Hilmar menyebutkan bahwa proses menteorikan praktik adalah proses pembentukan pengetahuan masyarakat berbasis tradisi adat.
“Titik tolak saya kenapa pembangunan bisa tidak berkelanjutan itu berasal dari sebuah problem yang saya kira laten, yaitu problem eksternalitas. Ini merupakan isu yang sering muncul dan biasa disebut invisible costs dari pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Implikasi dari kegagalan menginternalisasi eksternalitas adalah hancurnyaa sifat inklusif pembangunan. Banyak masalah dunia hari ini berakar pada kegagalan inklusi, seperti ketidakmerataan pembangunan yang menyebabkan diskrepansi antara pusat dan daerah, model pembangunan yang mengutamakan akumulasi laba justru memperlebar jurang antarkelas sosial, penghancuran lingkungan menimbulkan penurunan integrasi manusia dengan alam yang mendorong urbanisasi besar-besaran serta berbagai aksi intoleran mendorong tumbuhnya perasaan ekslusif dari tiap-tiap kelompok sosial.
Ia mengatakan, ketika pembangunan perekonomian meningkat tanpa memperhatikan sosial dan lingkungan maka akan terjadi peningkatan kerusakan lingkungan maupun masyarakat itu sendiri.
“Ketika pembangunan itu direduksi menjadi urusan pertumbuhan ekonomi, maka akibatnya sudah bisa kita lihat. Akibatnya tidak hanya kerusakan lingkungan tetapi dampaknya memang lebih dari sekedar kerusakan lingkungan, sehingga ketika ekosistem berubah maka kehidupan masyarakat dalam ekosistem tersebut juga berubah secara mendasar,” tambah Hilmar.
Seiring dengan hal tersebut, lanjut Hilmar, pengetahuan dan aset knowledge yang diwariskan dari generasi ke generasi turut melemah. Ia mencontohkan, seperti tradisi Sasi secara praktis saat ini tinggal kenangan. Pasalnya tradisi tersebut sudah tidak sesuai dengan introduksi teknologi modern di kawasan yang menerapkan Sasi.
Oleh karena itu, Hilmar menyebutkan sains keberlanjutan perlu dibangun dengan kesadaran bahwa seluruh masalah sosial, ekonomi dan ekologi hari ini merupakan ekspresi yang berbeda dari gejala tunggal yang sama. Dengan demikian, penanganan atas masalah sosial, ekonomi dan ekologi hanya mungkin dijalankan secara terpadu.
“Caranya adalah dengan berangkat dari konteks, dari sejarah praktik sosial. Pembangunan hanya akan berkelanjutan kalau itu muncul secara endogen. Kuncinya ada pada revitalisasi kekayaan pengetahuan tradisional,” tambahnya.
Upaya revitalisasi ini dapat dilakukan dengan memberdayakan wawasan pengolahan alam berbasis tradisi yang terbukti berkelanjutan, mengintegrasikan tradisi gotong royong ke dalam bagian integral dari aktivitas perekonomian dan mendorong interaksi antarbudaya yang berbeda sebagai penghela perekonomian nasional.
Hilmar juga menjelaskan tentang konsep sains keberlanjutan untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep ini dilandasi dengan pembangunan berbasis kebudayaan. Pembangunan ini diawali dengan pembangunan kreatif budaya tradisi. Dengan pembangunan ini, diharapkan dapat membantu penguatan wawasan lingkungan berbasis tradisi. Dengan demikian, dapat terwujud revitalisasi ekosistem.
“Dengan pembangunan berbasis kebudayaan, dapat dilakukan peningkatan inklusif pembangunan untuk membantu penguatan wawasan kebangsaan modern. Dari sini, diharapkan dapat tercipta solidaritas dan kohesi sosial,” tambah Hilmar.
Kegiatan 2nd Essay Contest ini turut didukung oleh The Samdhana Institute. Direktur Eksekutif The Samdhana Institute, Cristi Marie C Nozawa mengatakan pengetahuan lokal sangat penting untuk dieksplorasi. Dirinya menyebut, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat melimpah. Lebih lanjut ia menjelaskan, pengetahuan lokal merupakan pengetahuan kolektif yang dihasilkan oleh suatu komunitas melalui waktu.
“Pengetahuan lokal ini juga sudah termasuk multidisiplin karena di dalamnya ada ilmu biologi, botani, hukum hingga teknik. Contohnya adalah tradisi Subak yang ada di Bali,” ujar Cristi.
Pengetahuan lokal ini, kata Cristi, dapat membantu menemukan konsep keberlanjutan. Tidak hanya itu, pengetahuan lokal ini terbentuk dari kondisi lokal setempat dan telah mencerminkan keanekaragaman alam dan budaya.
Terkait penyelenggaraan essay contest tentang pengetahuan lokal, Cristi menyampaikan bahwa peserta diharapkan dapat mengeksplor pengetahuan lokal yang tersebar di Indonesia. Dengan essay contest ini juga, peserta dapat mengetahui identitas atau jati dirinya sendiri, teman, keluarga, komunitas, dan negara.
Dengan menulis essai pengetahuan lokal, lanjut Cristi, dapat belajar tentang masyarakat adat dan tradisional. Peserta dapat mempelajari tentang commons property right maupun intellectual property rights.
“Para peserta juga dapat belajar tentang keberlanjutan, kesehatan, sistem pangan yang berkelanjutan dan belajar skill baru maupun berinovasi,” ujar Cristi.
Materi Pak Dirjen : Sains dan Teknologi Masyarakat (IPB) (1)