A Journey in Search of Transdisciplinarity

Ketika pertama kali berkenalan dengan kata transdisiplin, entah mengapa, saya sangat tertarik untuk mengetahui dan memahaminya. Saya berpikir mungkinkah ini sebuah disiplin/ilmu baru yang dapat menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab? Saya sangat antusias dan semangat.
CTSS-IPB

Oleh: Eka Satya Putra

 

Ketika pertama kali berkenalan dengan kata transdisiplin, entah mengapa, saya sangat tertarik untuk mengetahui dan memahaminya. Saya berpikir mungkinkah ini sebuah disiplin/ilmu baru yang dapat menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab? Saya sangat antusias dan semangat.

Kemudian, ketika diminta untuk mempelajari, merangkum dan membuat bahan presentasi mengenai transdisiplin mulailah saya berkenalan dengan Basarab Nicolescu[1] dan Zurich[2] sebagai mainstream pemikiran transdisiplin. Banyak yang dapat dipelajari dan dipetik dari kedua aliran mainstream ini, namun pertanyaan apakah transdisiplin itu dan bagaimana menguasainya serasa masih belum terjawab bahkan makin menjauh. Saya merasa tidak berdaya untuk memahami apalagi menguasai transdisiplin.

Perasaan tidak berdaya ini semakin menjadi-jadi tatkala saya semakin banyak membaca artikel maupun buku mengenai transdisiplin. Ada yang mendefinisikan transdisiplin sebagai sebuah disiplin diatas segala disipin (supra disiplin), ada yang mengatakan sebagai sebuah kerangka ataupun pendekatan dan bukan supra disiplin, banyak yang mengaku telah menerapkan transdisipilin dan mendapatkan sukses walaupun saya pribadi sulit memahami dimana letak penerapannya dan kesuksesannya.

Baca: CTSS IPB University Bersama WCS Kompak Manfaatkan AI untuk Combating Wildlife Trafficking

Kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk melihat film “The Life and Ideas of David Bohm”. Saya sangat terkesan dengan penjelasan Dr. Jan Walleczek[3], Director of Phenoscience Labs, Berlin yang mengatakan: “Bohmian theory made a clear prediction about the nonlocality of the world. What is nonlocality? Nonlocality is really, to put it in simple words, to profound discovery of the interconnectedness of the universe at the fundamental level of quantum. Now, that conflicts deeply right away with relativity theory, where it says no, the speed of light is limited. Everything is local. Nothing can travel faster than the speed of light. So how could everything be instantaneously interconnected in the universe? And that’s the big clash that we have today. And that’s why also Bohms theory of hidden variables, which are nonlocal, has really been rejected from the start. It seems strange to us, and I stress the word seems, but if we want to make sense of a theory that matters also, and sometimes when a theory seems strange, we get past it and others times when it seems strange, it’s pointing us to something that we haven’t understood well enough. It really says that there exists a hidden regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will be able to access that domain and make and control it.

Kalimat “It really says that there exists a hidden regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will be able to access that domain and make and control it” sangat menyentuh saya dan membuat saya berpikir mungkin memang ada hal yang tidak bisa diketahui oleh manusia dan apakah hal itu adalah transdisiplin?

Waktu datang dan berlalu dan kalimat diatas sepertinya fading away walaupun saya sangat terkesan dengan kalimat tersebut. Namun anggapan saya tersebut ternyata salah karena, entah mengapa dan bagaimana, tiba-tiba muncul pertanyaan dibenak saya: mungkinkah selama ini saya salah mengartikan transdisiplin? Memang judulnya adalah transdisiplin tapi mungkinkah sebenarnya yang dimaksud bukan sebuah disiplin? Karena ketika manusia berusaha memahami dan menguasai dunia maka yang dilakukan adalah membedah realita yang berarti melahirkan disiplin baru? Mungkinkah ada realita yang tidak dapat dibedah oleh manusia? Seperti yang disebutkan oleh Dr. Jan Walleczek?

Saya mengibaratkan hal ini seperti ketika seseorang belajar mengemudi. Tentunya orang yang belajar mengemudi berharap mendapatkan keterampilan dan ijin mengemudi sehingga mampu dan laik untuk mengemudi sesuatu yang disebut kendaraan. Dalam proses ini, dia mempelajari disiplin baru dan mendapatkan keterampilan baru tapi tujuannya adalah menguasai sesuatu. Bagaimana bila mobil ini adalah dunia atau alam? Apakah benar tantangannya adalah menguasai dunia atau alam atau menjadi bagian dari dunia atau alam itu sendiri? Saya merasa bila tantangannya adalah menguasai maka transdisiplin adalah sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil dicapai. Pertanyaan  apakah transdisiplin itu masih menghantui saya tapi saya merasa telah mencapai suatu terobosan dengan pemikiran ini.

Baca: Indigenous knowledge in sustainable development pathways: from endowment functions to societal values

Kemudian saya bertemu dengan sebuah film berjudul “Why Everything You Thought You Knew About Quantum Physics Is Different”[4] oleh Philip Ball[5], seorang penulis sains dengan latar belakang pendidikan Kimia dari Oxford University dan Fisika dari Bristol University. Di film tersebut Philip Ball mengatakan “And quantum mechanics is a theory a bit like this, I think of what is and what isn’t knowable, and how those gnomes are related and how they emerge from the questions we ask. And I like to think of this in terms of a distinction between a theory of illness and a theory of isness. Quantum Mechanics doesn’t tell us how a thing is, it tells us what it could be along with, and this is crude, crucial, along with a logic of the relationships between those codes and the probability that it could be this. So If This Then That.”

Dengan kalimat “Quantum Mechanics doesn’t tell us how a thing is, it tells us what it could be….” tiba-tiba semuanya seperti menjadi jelas. Newtonian mechanic berbicara tentang hal yang deterministic, sebuah kepastian berdasarkan sebab akibat dengan berjalannya waktu, sedangkan Quantum mechanic berbicara tentang apa yang mungkin terjadi. Bila quantum mechanic dipaksakan mempunyai analogi yang sama dengan Newtonian mechanic maka mungkin analogi tersebut adalah “pasti akan terjadi sesuatu dan kemungkinan kejadiannya adalah……..” alias sebuah probability. Disiplin adalah Newtonian mechanic dan transdisiplin adalah quantum mechanic. Demikian guman saya, mungkin benar mungkin salah tapi itu adalah penjelasan yang memberikan rasa nyaman kepada saya. Adanya perbedaan definisi dan pandangan tentang transdisiplinpun menjadi jelas karena memang semua bergantung pada state pengamat, apakah di Newtonian mechanic atau di Quantum mechanic dan itulah indahnya transdisiplin. Sebuah hal universal yang dapat didefiniskan dari manapun namun mempunyai “rasa” yang sama, yang sulit diuraikan ataupun dijabarkan dengan kata-kata dan saya pikir inilah esensi dari transdisiplin.

Kembali mengutip pernyataan Dr. Jan Walleczek “It really says that there exists a hidden regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will be able to access that domain and make and control it”, sangatlah jelas bagi saya sumber dari esensi transdisiplin ini memang adalah hal yang mungkin tidak dapat dipahami atau dikuasai, namun dapat dirasakan dalam sebuah proses untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita.

Sebagai penutup, ijinkanlah saya menyampaikan pemikiran ini dalam bentuk, saya dan kami, unik dan biasa sebagai berikut:

In We there is I and in I there is We

I am ordinary and yet I am unique

In flux of ordinariness and uniqueness

That defines I in We and We in I

Baca: CTSS Bersama PEI dan Syngenta Kompak Selenggarakan Workshop Perlebahan

[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Basarab_Nicolescu: Basarab Nicolescu (born March 25, 942, PloieştiRomania) is an honorary theoretical physicist at the Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS), Laboratoire de Physique Nucléaire et de Hautes Énergies, Université Pierre et Marie CurieParis. He is also a Professor at the Babeş-Bolyai University, Cluj-Napoca, Romania and Docteur ès-Sciences Physiques (PhD), 1972, Université Pierre et Marie Curie, Paris. He was appointed Professor Extraordinary at Stellenbosch University, South Africa for the period 1 January 2011 to 31 December 2016 and was elected as Stellenbosch Institute for Advanced Study (STIAS) Fellow in 2011.

[2] https://transdisciplinarity.ch/en

[3] https://phenoscience.com/contact/

[4] https://www.youtube.com/watch?v=q7v5NtV8v6I&t=532s&ab_channel=TheRoyalInstitution

[5] https://en.wikipedia.org/wiki/Philip_Ball

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *