Trenggiling dalam Perdagangan Satwa Liar

Pangolin atau trenggiling sudah banyak menjadi headline di berita-berita sehingga sudah banyak masyarakat tidak merasa asing jika mendengar percakapan ataupun diskusi mengenai trenggiling. Headline yang mencakup trenggiling tidak lain dan tidak bukan membahas mengenai kejamnya penangkapan puluhan bahkan ratusan trenggiling hidup-hidup, puluhan kilo sisik trenggiling yang siap diantarkan ke dealer untuk diselundupkan ke tempat-tempat tertentu .
ctss-15

Ditulis oleh :  Silfi Iriyani

Trenggiling adalah mamalia bersisik, berlidah panjang dan tidak memiliki gigi.  Terdapat 8 jenis species trenggiling yang tersebar   di Afrika dan Asia. Trenggiling di Asia terdiri dari 4 spesies yaitu Chinese Pangolin, Indian Pangolin, Philippine Pangolin, dan Sunda Pangolin (Manis Javanica). Sunda Pangolin adalah jenis yang paling banyak tersebar di Asia Tenggara [1] [2]. Trenggiling hidup pada habitat dan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah. Kerusakan habitat dan ekosistem merupakan ancaman bagi keberadaan Trenggiling.  Ancaman bagi keberadaan spesies ini juga berasal dari semakin maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar.

Namun sangat disayangkan bahwa trenggiling Sunda saat ini tercatat sebagai hewan berstatus kritis (CR) dalam Daftar Merah IUCN. Status ini sudah dimulai sejak tahun 2017 yang sebelumnya trenggiling berada di posisi EN (Endangered). [3]. Pengurangan populasi yang drastis ini diduga akibat perdagangan illegal yang semakin meluas. Di Indonesia, trenggiling adalah satwa yang dilindungi menurut Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990. Meskipun peraturan yang ada sudah jelas menyatakan bahwa sunda pangolin adalah satwa yang dilindungi, namun perburuan dan perdagangan illegal masih marak terjadi hingga saat ini justeru kasusnya semakin meningkat dan jumlah perburuannya semakin besar [2]. Trenggiling banyak diburu terutama karena daging dan sisiknya. Dagingnya dikonsumsi sebagai hidangan mewah atau sumber protein lokal . Sementara sisiknya digunakan untuk bahan obat-obatan tradisional yang dapat meningkatkan kesehatan tubuh.  Dalam beberapa referensi dan penelitian sebelumnya diketahui bahwa sisik trenggiling mengandung zat aktif Tramadol HCl yang merupakan zat aktif analgesik untuk mengatasi nyeri, serta merupakan partikel pengikat zat pada psikotropika jenis sabu-sabu  [1]. Tramadol HCI juga merupakan zat aktif yang merupakan salah satu obat analgesic yang digunalan untuk mengatasi nyeri hebat akut atau kronis dan nyeri pasca operasi [4].

Pada tahun 1999 hingga 2017 berdasarkan kasus yang ditemukan menunjukkan terdapat sekitar 192.567 ekor trenggiling menjadi spesies kunci yang diperdagangkan dalam aksi perdagangan illegal [5]. Jumlah tersebut berasal dari 1.557 insiden penyitaan global dan mencakup semua jenis trenggiling. Sebagian besar penyitaan yang terjadi di Indonesia (83%) menunjukkan bahwa Sumatera menjadi lokasi sumber perburuan trenggiling yang pada faktanya terhubung dengan jalur perhubungan daratan Sunda yang menghubungkan Indonesia, Malaysia dan Singapura—dengan Medan di Sumatra Utara.  Jalur ini adalah rute perdagangan dan disebut sebagai tempat pengumpulan utama sebelum diekspor [5].

Pangolin atau trenggiling sudah banyak menjadi headline di berita-berita sehingga sudah banyak masyarakat tidak merasa asing jika mendengar percakapan ataupun diskusi mengenai trenggiling. Headline yang mencakup trenggiling tidak lain dan tidak bukan membahas mengenai kejamnya penangkapan puluhan bahkan ratusan trenggiling hidup-hidup, puluhan kilo sisik trenggiling yang siap diantarkan ke dealer untuk diselundupkan ke tempat-tempat tertentu .

Manis javanica telah  berstatus sebagai satwa yang dilindungi di Indonesia sejak tahun 1931 [6]. Pengiriman besar- besaran seluruh satwa  illegal di Asia  sekira 55% dari pengiriman ditujukan ke China. Negara tujuan lain untuk pengiriman seluruh satwa  dalam jumlah besar adalah Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura. Sebagian besar pengiriman satwa  utuh dalam jumlah besar berasal dari Indonesia (36%), dan Malaysia (36%). [6]. Indonesia diperkirakan kehilangan hingga 10.000 trenggiling per tahun (2010-2015) akibat IWT, yang mayoritas bersumber dari Sumatra [7].

Berdasarkan hasil dari observasi diketahui bahwa, pelaku kejahatan mengulangi kembali kejahatan yang sama bahkan setelah ia menerima hukuman atas kejahatan terdahulunya. Residivis terjerat dengan pasal Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (2) dan melanggar undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Hukuman untuk pelaku kejahatan adalah hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta [8] [9]. Namun demikian, pada saat melakukan kejahatan pertamanya, pelaku hanya dihukum 4 bulan penjara dengan denda uang sebesar satu juta rupiah. Melihat ringannya hukuman yang diberikan kepada pelaku, bisa disimpulkan bahwa hukuman dan sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera karena pelaku kembali terjun ke bisnis illegal. Investigasi kasus ini memakan waktu yang cukup lama, memerlukan kesabaran yang tinggi, dan mengeluarkan biaya yang lumayan. Sedangkan hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan selama proses pemantauan dan penangkapan. Hukuman yang lunak dari pemerintah dapat menjadi salah satu alasan semakin meroketnya penangkapan satwa yang dilindungi.

Malaysia, Indonesia, dan Vietnam terungkap sebagai Negara sumber utama trenggiling mati, sedangkan Negara yang paling banyak menyelundupkan sisik trenggiling adalah Nigeria, Kamerun, dan Myanmar dengan tujuan Negara yaitu Cina [10]. Dengan fakta yang sudah banyak diungkap oleh media dan penelitian-penelitian dari para ahli mengenai nasib trenggiling yang terancam, pemerintah baiknya memfokuskan perhatian yang lebih besar untuk proses perlindungan populasi satwa ini dan memberikan hukuman serta sanksi yang setimpal terhadap pelaku kejahatan.

 

Dalam upaya menurunkan rating perdagangan satwa liar, selain berfokus pada peningkatan peraturan dan hukum terhadap perlindungan satwa liar, tapi juga harus merujuk kepada usaha untuk menurunkan permintaan pasar terhadap produk-produk yang berasal dari hewan yang dilindungi. Trenggiling semakin menjadi primadona di dalam perdagangan satwa liar karena selain dagingnya untuk dimakan dan sisiknya dapat dijadikan obat dan menyembuhkan berbagai penyakit. sisik trenggiling dapat digunakan sebagai bahan dasar sabu-sabu karena mengandung tramadol HCI, yaitu opioid sintetis yang digunakan sebagai analgesic. Ada juga beberapa sumber berita yang  menyatakan bahwa sisik pangolin berpotensi digunakan dalam pembuatan metamfetamin karena keberadaan tramadol HCl yang diakui  dan klaim tidak berdasar ini terus digemakan oleh media.

 

U.S. Fish and Wildlife Service melakukan penelitian pada awal 2019 terhadap kemotipe sisik pada  104 individu trenggiling yang mewakili semua spesies. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa tak satu pun dari spesimen menunjukkan keberadaan tramadol. Berita ataupun anggapan bahwa sisik pangolin mengandung analgesik tramadol telah dipatahkan oleh hasil penelitian ini. Melihat begitu meroketnya permintaan trenggiling dipasaran, sangat penting untuk memperbaiki asumsi keliru yang beredar di masyarakat. Terungkapnya bahwa sisik trenggiling tidak mengandung tramadol diharapkan dapat mengurangi permintaan pasar dan tentunya berefek pada penurunan perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling [11].

 

References

[1]      B. Masy’ud and M. Bismark, “PERILAKU TRENGGILING (Manis javanica, Desmarest, 1822) DAN KEMUNGKINAN PENANGKARANNYA,” Media Konserv., vol. 16, no. 3, 2011.

[2]      M. Takandjandji and R. Sawitri, “ANALISIS PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN TRENGGILING JAWA (Manis javanica Desmarest, 1822) DI INDONESIA,” J. Anal. Kebijak. Kehutan., vol. 13, no. 2, pp. 85–101, 2016.

[3]      IUCN, “Guidelines for Using the IUCN Red List – Categories and Criteria,” Iucn, vol. 11, no. February, p. 60, 2017.

[4]      D. J. B. dan Cukai, “Warta Bea Cukai,” 2015.

[5]      L. Gomez, B. T. C. Leupen, K. Krishnasam, and S. Heinrich, “Pemetaan Penyitaan Trenggiling di Indonesia ( 2010 – 2015 ),” 2015.

[6]      I. red List, “Manis javanica, Sunda Pangolin,” 2015.

[7]      F. A. Team, “Illegal Wildlife Trade report,” pp. 1–48, 2018.

[8]      Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018,” pp. 1–31, 2019.

[9]      Republik Indonesia, “UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya,” pp. 1–28, 1990.

[10]    L. Xu, J. Guan, W. Lau, and Y. Xiao, “An Overview of Pangolin Trade in China,” Traffic Brief. Pap., p. 10, 2016.

[11]    R. L. Jacobs, P. J. McClure, B. W. Baker, and E. O. Espinoza, “Myth debunked: Keratinous pangolin scales do not contain the analgesic tramadol,” Conserv. Sci. Pract., no. June, pp. 1–6, 2019.

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *