CTSS IPB University bahas Kondisi Perburuan dan Peredaran Satwa Liar di Masa Pandemi
Center for Transdisciplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University turut membahas kondisi perburuan dan peredaran satwa liar di masa pandemi melalui diskusi Graduated Studen on Sustainability Seminar, 19/8. Diskusi ini mengundang Dwi Nugroho Adhiasto, yang merupakan Fellows CTSS IPB University.
Dr Rilus A Kinseng, Kepala Divisi Knowledge Production menjelaskan, diskusi ini tidak hanya untuk mahasiswa pascasarjana tetapi bisa diikuti oleh semua kalangan. Dosen IPB University itu pun menjelaskan, diskusi ini didesain supaya ide-ide tentang sustainability itu bisa terus membesar karena saat ini manusia dihadapkan dengan berbagai krisis termasuk krisis ekologi.
“Krisis ekologi ini dapat mengancam kehidupan dan keberlanjutan, sehingga diskusi ini ingin mengajak semua orang untuk semakin menghayati, memahami, dan menjadi pelaku-pelaku yang mampu mewujudkan sustainable life style di masa depan,” ujar Dr Rilus A Kinseng.
Terkait topik yang dibahas, Dr Rilus menyatakan bahwa satwa liar juga sangat terkait dengan isu keberlanjutan dan krisis ekologi. “Satwa liar ini sangat penting sekali untuk sustainability dan keseimbangan ekologi. Apabila satwa liar ini tidak ada, dipastikan akan membahayakan keseimbangan ekologi,” pungkas Dr Rilus A Kinseng.
Dalam pemaparannya, Dwi Nugroho Adhiasto, Fellows CTSS IPB University menjelaskan, pelaku perdagangan dan peredaran satwa liar yang mempunyai motif ekonomi menganggap satwa liar sebagai komoditas yang menguntungkan. Komoditas yang dijual ini berupa satwa liar hidup (anak harimau), bagian-bagian tubuhnya (tulang harimau), produk satwa liar (tas dari kulit buaya), dan turunan satwa liar (derivatif) misalnya tiger glue yang terbuat dari tulang harimau yang direbus,” ujar Dwi Nugroho.
Dwi menjelaskan, kegiatan peredaran dan perdagangan satwa liar melibatkan berbagai level pelaku. Ia pun menjelaskan, di dalam rantai perdagangan transnasional yang kompleks, para pelaku bahkan membentuk perusahaan fiktif (shell company) untuk menutupi atau mencuci uang dari perdagangan ilegal satwa liar.
“Bahkan pelaku juga berasal dari kelompok separatis bersenjata atau jaringan narkoba, sehingga transaksinya semakin kompleks,” ujar Dwi.
Ia pun menjelaskan, bagian-bagian tubuh satwa liar digunakan untuk bahan obat tradisional, koleksi, pameran, maupun kegiatan tradisi, upacara, atau budaya. Di masa pandemi ini, beberapa influencers memanfaatkan sosial media (youtube) untuk memamerkan satwa liar dilindungi, yang secara tidak langsung dapat menarik minat para followers yang tidak mengetahui tentang aturan perlindungan dan pemanfaatan satwa liar dilindungi.
Modus online merupakan cara favorit para pelaku di masa pandemi. Pelaku memanfaatkan media sosial untuk menawarkan satwa liar dan bertransaksi. Dwi juga menyebut, pelaku juga memanfaatkan e-commerce untuk menginklankan satwa liar.
“Masa pandemi ini memang ada penurunan kegiatan penegakan hukum (penangkapan) terhadap pelaku. Ini terjadi karena upaya penyelidikan dan pengungkapan kasus terhalang oleh mobilitas aparat karena PPKM. Namun, secara umum, sejak tahun 2012, upaya penegakan hukum terhadap para pelaku meningkat pesat,” ujar Dwi N Adhiasto. Ia pun menjelaskan, bahwa hampir semua provinsi di Indonesia aparat penegak hukumnya sudah menangani kasus illegal wildlife trade. Ini membuktikan bahwa kemampuan dan pengetahuan aparat di dalam mengungkap dan menangani kasus satwa liar juga semakin meningkat.
“Setiap provinsi di Indonesia yang menjadi hotspot bagi perburuan dan peredaran satwa liar mempunyai peran masing-masing. Setiap daerah dapat berperan sebagai daerah sumber perburuan, transit, atau pasar bagi pembeli satwa liar,” jelas Dwi N Adhiasto.