"Nyadran Gebyog"
Juara 2

Masyarakat merupakan suatu entitas yang didalamnya setiap individu manusia berusaha menyesuaikan diri dan menyatu dengan lingkungannya sehingga membentuk suatu ikatan sosial yang saling menguatkan. Ikatan sosial dalam masyarakat membentuk suatu budaya yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari berupa adab, adat istiadat serta tradisi. Indonesia merupakan Negara megapluralitas. Data Badan Pusat Statistik berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencatat terdapat 1.331 suku di Indonesia, dimana 633 diantaranya merupakan kelompok suku besar. Banyaknya suku-suku yang mendiami wilayah daratan Indonesia menyebabkan tingginya keberagaman budaya di Indonesia.

Budaya menjadi identitas dari masing-masing komunitas suku bangsa. Lave (1996) menyatakan bahwa budaya merupakan rangkaian peristiwa yang dapat diamati, dengan pelibatan tindakan manusia, dapat merupakan peristiwa yang menyumbang pada pengalihan, penciptaan, pemroduksian, atau pentransformasian pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan lain-lain tidak hanya terwujud dalam, tetapi juga diwujudkan oleh praktek-praktek atau tindakan-tindakan manusia. Salah satu sifat budaya adalah memiliki karakter yang unik dan khas. Karakter tersebut pada akhirnya akan menciptakan suatu diversitas. Satu budaya dalam suatu komunitas yang berbeda akan sangat mungkin menjadi suatu sajian tampilan yang berbeda pula.

Nilai dari budaya terus berkembang mengikuti perkembangan jaman itu sendiri. Budaya tidak lagi hanya bermakna simbolis saja, melainkan juga representasi nilai-nilai ekologis (dalam spektrum lokal), bahkan memiliki fungsi secara ekonomis. Budaya yang bersintesis dengan kondisi lingkungan alamiah menciptakan suatu citra khas dalam bentuk kearifan lokal (indigenous science), yang dalam perspektif pariwisata merupakan suatu aktivitas dengan atraktivitas yang mencirikan otentisitas. Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia adalah tradisi Sedekah Bumi (Nyadran) di Desa Pungangan, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan.

 

Latar Belakang sejarah dan Potensi Atraktivitasnya

Tradisi nyadran di Desa Pungangan ini khas karena diselenggarakan diatas gunung di tengah hutan, di area dinding batu yang dihipotesakan sebagai bangunan peninggalan jaman batu besar (megalitikum). Nyadran Gebyog merupakan tradisi yang bersifat tahunan. Tradisi Nyadran Gebyog diselenggarakan setiap tahun, tetaptnya setiap tanggal 17 bulan Syawal. Nyadran Gebyog pertama kali diselenggarakan pada tanggal 17 Syawal tahun 2015. Pada waktu itu, terjadi serangan wabah penyakit yang menimpa warga dusun. Penyakit yang menimpa warga dusun tersebut adalah penyakit berak darah (wasir). Penyakit tersebut mewabah dan menjangkiti tidak hanya satu atau dua warga dusun tetapi banyak warga yang teserang. Fenomena munculnya penyakit wasir yang mewabah tersebut dikonotasikan sebagai suatu bahaya yang disebabkan oleh kekuatan spiritual atau dalam bahasa daerah disebut pagebluk.

Pagebluk dalam bahasa daerah diartikan sebagai suatu fenomena munculnya wabah penyakit akibat bukan karena faktor-faktor medis, melainkan lebih diakibatkan oleh faktor supranatural. Kepercayaan warga ini muncul karena memang secara geografis Desa Pungangan berada di daerah pedesaan, dimana kepercayaan mistik metafisik masih sangat kuat mengakar di kalangan warga. Oleh karena itu, aksi solutif yang dilakukan oleh warga adalah datang menemui tokoh yang dianggap memiliki koneksi spiritualitas dengan unsur-unsur supranatural. Solusi yang diberikan oleh tokoh spiritual tersebut adalah agar warga setempat menyelanggarakan ritual sedekah bumi atau yang dalam bahasa lokal disebut Nyadran.

Istilah Nyadran Gebyok merupakan suatu penggabungan kata antara nyadran yang merupakan ritual yang diselenggarakan, dan gebyog yang berkonotasi pada tempat dimana ritual tersebut diselenggarakan. Ritual nyadran diselenggarakan sebagai wujud rasa syukur, rasa berbakti, serta rasa terimakasih, sekaligus berdo’a meminta keselamatan dan keberkahan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang penyelenggaraannya ditempatkan di area sekitar makam leluhur yaitu Wali Ageng Selo Branti atau yang dikenal juga dengan nama Mbah Gebyog. Tradisi yang berkaitan dengan ajaran kepercayaan dari tanah arab berkelindan dengan unsur mistik, klenik, dan kepercayaan terhadap benda atau unsur keramat yang menjadi kepercayaan lokal masyarakat bumi jawa sehingga memunculkan ciri khas religiusitas masyarakat jawa pesisiran (Mustaghfiroh dan Mustakim, 2014). Nama Mbah Gebyok diambil dari nama gunung tempat beliau dimakamkan yaitu Gunung Gebyog. Gebyog merupakan bahasa sansekerta, yang makna harfiahnya adalah sekat atau dinding. Pemberian nama Gebyog pada gunung tersebut mengacu pada keberadaan dinding batu besar yang dihipotesakan merupakan bangunan batu peninggalan jaman megalitikum. Bagi mayoritas wisatawan jenis budaya, event budaya atau sejarah, serta aktivitas budaya seringkali menjadi pertimbangan utama mereka saat memilih lokasi wisata (Gnoth, 1998; Agrusa et al, 2010). Wisatawan yang berwisata di daerah pedesaan biasanya berharap bisa merasakan pengalaman langsung untuk hidup sebagai masyarakat pedesaan, juga terlibat pada kegiatan-kegiatan atau acara (event) Desa. (Gaman and Nistoreanu, 2015). Pada dasarnya daya tarik dari sebuah objek sejarah atau budaya tidak hanya terletak pada keindahan visualnya saja, namun juga sering kali terkait dengan legenda atau mitos yang melekat pada objek tersebut (Sigarete and Ahmad, 2017).

 

Nilai-nilai Konservatif dan Nilai-nilai Atraktif

Budaya tidak semata berkaitan dengan apa yang ditampilkan saja, tetapi seringkali juga berkaitan dengan unsur-unsur nilai yang bersifat filosofis dari setiap pola serta gerakan dan tata cara pelaksanaannya. Rangkaian acara Nyadran Gebyog diawali dengan mempersiapkan makanan yang akan dibawa sebagai bekal dalam ritual ziarah yang bisasanya proses memasak mulai dilakukan pada malam hari. Makanan yang harus disiapkan adalah nasi dan lauk pauk. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak merupakan sumbangan dari masyarakat yang dikelola secara swadaya. Masyarakat mengumpulkan bahan-bahan makanan yang dihimpun dari seluruh keluarga masyarakat yang memberikan bahan-bahan makanan sesuai dengan yang dibutuhkan berdasarkan kemampuan masing-masing keluarga. Tidak ada standar khusus terkait dengan jenis serta kuantitas bahan makanan yang harus disumbangkan oleh masing-masing keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memegang teguh prinsip gotong-royong. Kegiatan kebersamaan sosial seperti gotong-royong dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan pendapan masyarakat dengan dikemas menjadi kegiatan wisata (Sari et al, 2014).

Ritual Nyadran Gebyog dimulai pada pagi hari tanggal 17 Syawal, dimana masyarakat bersama-sama memulai perjalanan dari wilayah pemukiman menuju ke Gunung Gebyog mulai pukul 06.00 WIB. Peserta ritual Nyadran Gebyog adalah seluruh masyarakat dusun baik anak-anak, remaja, muda, dewasa, orang tua, laki-laki maupun perempuan. Tidak ada kewajiban bagi warga untuk ikut serta dalam ritual acara, juga tidak ada larangan bagi warga-warga tertentu untuk ikut terlibat dalam acara. Namun demikian, warga sangat antusias untuk ikut serta dan terlibat dalam kegiatan ini. Masyarakat dari luar komunitas lokal juga dipersilahkan apabila mengikuti acara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Nyadran Gebyog, tidak ada deskriminasi pada individu-individu tertentu dengan latarbelakang tertentu. Sehingga citra kebersamaan serta citra keteraturan dalam masyarakat sangat terlihat dalam acara ini. Pola kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan norma-norma yang berperan penting dalam kehidupan sosial mereka, dimana aturan-aturan dan norma-norma tersebut membentuk homogenitas perilaku dan sosial ekonomi masyarakat, dengan tujuan untuk memperkokoh benteng benteng kehidupan anak keturunan sehingga terjalin tatanan hidup yang terus berkesinambungan dan dominan (Senoaji, 2010).

Perjalanan yang untuk sampai ke puncak Gunung Gebyog memerlukan waktu + 3 jam. Jalan yang harus dilalui masyarakat adalah jalan setapak dengan tebing dan jurang di sisi kanan kiri jalan. Selain itu, medan jalan yang harus ditempuh juga naik turun dengan tingkat kemiringan yang bervariasi khas medan gunung, serta harus menyeberangi beberapa sungai. Akses jalan menuju ke lokasi ritual dibiarkan sederhana, tanpa ada sentuhan yang berlebihan. Pada satu titik di sungai terakhir sebelum puncak ritual, rombongan masyarakat berhenti untuk mandi dan bersuci. Mengingat pentingnya peran sungai dalam ritual ini, maka menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat untuk menjaga kelestarian sungai. Keberadaan sungi ini menjadi penting sebagai manifestasi pola integrasi antara alam dan budaya dalam kehidupan keseharian masyarakat Dukuh Kopeng. Menu makanan yang disajikan saat ritual juga makanan yang berkonotasi pada ramah lingkungan karena menghindari lauk pauk berupa daging. Menu makanan ramah berbasis sayuran menjadi menu makanan yang ramah lingkungan karena berperan dalam mengurangi efek gas rumah kaca (Subbiah and Kannan, 2012). Ritual Nyadran Gebyog menjadi penegas identitas masyarakat yang senantiasa hidup harmonis dengan budaya yang sudah mengakar menjadi sebuah kepercayaan dan alam yang telah memberi mereka kecukupan akan kebutuhan-kebutuhan dasar. Pariwisata perdesaan diaplikasikan dengan menunjukkan suatu lingkungan geografis tempat terjadi/berlangsungnya aktivitas pariwisata dan karakteristik asli berupa budaya tradisional, budaya pertanian, lanskap pedalaman, dan gaya hidup sederhana (Raharjana, 2012).

 

Konsepsi Wisata Budaya

Wisata budaya merupakan suatu perjalanan wisata yang diselenggarakan di objek-objek budaya dengan tujuan untuk mengenali hasil-hasil kebudayaan objek setempat. Atraksi budaya adalah atraksi yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada hasil karya dan hasil cipta manusia, baik yang berupa peninggalan peninggalan budaya (situs/heritage) maupun yang budayanya masih hidup dalam kehidupan masyarakat yang dapat  berupa ritual, seni pertunjukan, karya seni, sastra, maupun seni rupa (Sunaryo, 2013). Kegiatan pariwisata saat ini sedang mengalami pergeseran dimana wisatawan lebih menekankan pada pengalaman mendalam tentang alam dan budaya (Vitasurya, 2014), dengan melakukan perjalanan wisata di lokasi-lokasi yang berbeda dan eksotik untuk tujuan yang lebih khusus seperti mempelajari budaya, bahasa, perilaku, dan adat istiadat (Butler, 1996; Indrawati, 2007).

Masyarakat menjadi komponen utama dalam kegiatan wisata berbasis budaya. Keterlibatan warga masyarakat sekitar dalam kegiatan wisata sangat penting sebagai bentuk dukungan serta untuk memastikan bahwa apa yang akan diperoleh selaras dengan kebutuhan dan kepentingan warga setempat (Raharjana, 2012). Masyarakat, khususnya masyarakat lokal merupakan subjek sekaligus objek dari kegiatan-kegiatan budaya. Dalam industri pariwisata, masyarakat akan bertindak sebagai tuan rumah dan wisatawan adalah tamu, dimana sebagai tuan rumah yang baik, masyarakat harus bisa mengedepankan norma-norma kesopanan yang berlaku agar wisatawan sebagai tamu merasa nyaman saat berwisata. Masyarakat lokal terutama penduduk sekitar lokasi wisata menjadi pemeran kunci dalam pengembangan wisata di area pedesaan terutama dalam hal penyediaan atraksi yang akan berdampak pada kualitas produk wisata (Damanik dan Webber, 2006).

Masyarakat Dukuh Kopeng merupakan masyarakat yang heterogen. Heterogenitas tersebut tercermin dari keberagaman sikap dan persepsi mereka terhadap pariwisata. Sebagian besar masyarakat merasa bahwa wilayah tempat tinggal mereka memiliki atraktivitas yang cukup menarik dank has untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata yang salah satunya adalah ritual Nyadran Gebyog. Kondisi masyarakat yang ada tersebut sudah cukup sebagai bekal awal untuk bergerak mengembangkan potensi wisata. Adanya kesadaran dalam melihat diri dan lingkungannya merupakan bekal dasar untuk lebih serius mengembangkan potensi tersebut kedalam suatu usaha pariwisata (Raharjana, 2012).

 

Penulis : Halim Ahmad
Juara 2 Kategori Pascasarjana

 

 

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *