Profil Situasi Kesenjangan Upah Pekerja Perempuan

Beberapa teori menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan adalah hal yang berkaitan dengan preferensi, dimana pada umumnya kaum perempuan lebih memilih pekerjaan yang lebih fleksibel.  Situasi ini diambil berdasarkan peran domestik yang dimiliki perempuan, sehingga fleksibilitas untuk dapat bekerja sembari tetap dapat mengerjakan pekerjaan domestik mempengaruhi pemberian upah. 

by : Silfi Iriyani

Penduduk di Indonesia sejumlah 270.204 juta jiwa, dengan komposisi 136.662 juta jiwa Laki laki dan  133.542 juta jiwa perempuan.  Dari total jumlah penduduk Indonesia tersebut, hanya 44% saja yang bekerja di bidang formal, selebihnya yaitu sebesar 56.5% bekerja di bidang informal.  Dalam hal pemenuhan penempatan kerja formal bagi kelompok umur usia bekerja yang terdaftar terdapat sekitar 2.901.034 dengan komposisi 1.834.462 jiwa laki-laki dan sekitar 1.066.572 jiwa perempuan.  Jumlah area penyerapan kerja yang informal jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang terdaftar (BPS,2021).  Meski demikian, dalam statistik Indonesia terdapat area sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sektor pertanian, sektor kehutanan dan sektor perikanan.  Tiga sektor tersebut mencapai 38,78 juta jiwa atau setara 29,59%. [1]  Ditinjau dari wilayah, jumlah penduduk usia kerja lebih banyak tinggal di wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah pedesaan.  Di perkotaan jumlah penduduk usia kerja mencapai 115,82 juta jiwa sedangkan di pedesaan sejumlah 88,15 juta jiwa.  Dari situasi itu, diketahui bahwa jumlah penduduk usia kerja di perkotaan didominasi oleh perempuan, dan di pedesaan didominasi oleh laki-laki.

Khusus pada sektor kehutanan formal, pekerja tersebar pada 720 perusahaan bidang kehutanan di Indonesia.  Sebaran perusahaan kehutanan di Indonesia paling banyak terdapat di Pulau Kalimantan, diikuti Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.  Dari 720 perusahaan bidang kehutanan tersebut terdapat 256 perusahaan pengusahaan hutan (HPH), 314 perusahaan pembudidaya tanaman kehutanan (HPHT) dan 150 Perusahaan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).[2]  Perusahaan kehutanan di aspek Perusahaan Hutan Tanaman Industri menyerap tenaga kerja mencapai 39.442 jiwa dengan komposisi 7.342 jiwa laki-laki dan 1.903 jiwa perempuan sebagai pekerja di bagian administrasi.  Sementara yang bekerja di lapangan sebanyak 25.051 jiwa laki-laki dan 5.146 jiwa perempuan.  Catatan pekerja di perusahaan perhutani dan perusahaan kehutanan lainnya adalah 19.045 jiwa dengan komposisi pekerja laki-laki 4.147 jiwa dan perempuan 774 jiwa di bagian administrasi dan 12.590 jiwa laki-laki dan 1.534 jiwa perempuan yang bekerja di bagian lapangan.

Dari profil pekerja yang disebutkan diatas maka dapat diketahui bahwa ketimpangan dan kesenjangan jumlah partisipasi kerja bagi kaum perempuan sangat jelas terlihat.  Hanya 9.357 jiwa perempuan saja yang berpartisipasi dalam ketenagakerjaan di perusahaan kehutanan atau hanya 16%, masih didominasi oleh tenaga kerja laki-laki yang menduduki porsi sebesar 84%.  Pada Juni 2021, Woman World Banking menyebut bahwa hambatan budaya menjadi salah satu yang mendominasi sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi angkatan kerja bagi kaum perempuan secara signifikan.  Selain itu, adanya sebagai tenaga kerja, perempuan juga masih memiliki peran ganda dalam kehidupannya yang masih perlu memperoleh perhatian untuk memperoleh kesetaraan.

Kesetaraan juga sangat jelas diperlukan dalam hal pemberian upah.  Di Indonesia, tidak hanya di sektor kehutanan saja, namun hampir seluruh sektor masih belum memberikan upah yang setara antara laki-laki dan perempuan.  Tahun 2020, data yang diungkapkan oleh Kementerian PPPA bahwa masih terjadi kesenjangan pemberian upah antara laki-laki dan perempuan.  Di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, meskipun merupakan sektor dengan jumlah serapan tenaga kerja paling banyak, namun memiliki kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan yang signifikan dengan kisaran upah untuk perempuan sebesar Rp.1.437.325 dan laki-laki memperoleh upah sebesar Rp. 2.169.562.  Kesenjangan upah tersebut masih sangat lebar, dan ini merefleksikan bahwa penghargaan terhadap kerja perempuan masih menjadi sub-ordinat dibandingkan laki-laki.  Situasi ini juga terjadi pada usaha-usaha mikro bidang kehutanan yang berada di pedesaan.

Beberapa teori menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan adalah hal yang berkaitan dengan preferensi, dimana pada umumnya kaum perempuan lebih memilih pekerjaan yang lebih fleksibel.  Situasi ini diambil berdasarkan peran domestik yang dimiliki perempuan, sehingga fleksibilitas untuk dapat bekerja sembari tetap dapat mengerjakan pekerjaan domestik mempengaruhi pemberian upah.  Sementara itu, dalam theory economic of discrimination (Becker, 1971), faktor diskriminasi adalah faktor yang menyebabkan adanya diskriminasi pemberian upah.  Dalam teori tersebut, untuk memaksimumkan utilitasnya, pemberi kerja yang diskriminatif terhadap perempuan hanya bersedia merekrut tenaga kerja perempuan apabila perempuan mau meneria upah yang lebih rendah dari laki-laki, meskipun memiliki kapasitas dan produktifitas yang sama. Namun, teori tersebut tidak hanya memberikan dampak terhadap perempuan, terdapat juga perusahaan yang diskriminatif terhadap laki-laki, yang juga akan memberlakukan pemberian upah yang lebih rendah daripada upah yang diterima oleh perempuan.

Ditinjau dari wilayah, kesenjangan pemberian upah yang lebih rendah kepada perempuan paling besar terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan di wilayah perkotaan.  Pada tahun 2020, ditemukan bahwa tingkat kesenjangan upah antar gender di pedesaan mencapai 27,05% dibandingkan kesenjangan upah di perkotaan 19,77%.[3]  Situasi dimana perempuan banyak memperoleh upah rendah dibandingkan laki-laki berada di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan, perburuan dengan nilai mencapai 36,85%.

Mencermati situasi ini, maka Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) selama 38 tahun hendaknya dapat melakukan upaya perbaikan kebijakan untuk mendorong kesetaraan upah bagi perempuan dan laki-laki, sesuai dengan kapasitas, kompetensi dan produktifitas yang dimiliki.

Sumber Bacaan

Buku

  1. Statistik Indonesia Tahun 2021. Badan Pusat Statistik Indonesia.
  2. Women’s Economic Empowerment and Financial Inclusion in Indonesia. Women’s World Banking June 2021. Levers to move women from inclusion to empowerment
  3. Becker, 1971. Discrimination Theory
  4. Buku Pembangunan Berbasis Gender Tahun 2021. Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

 

Website

https://www.merdeka.com/uang/sektor-pertanian-kehutanan-dan-perikanan-serap-tenaga-kerja-tertinggi-3878-juta.html diakses tanggal 11 Februari 2022.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/07/apa-pulau-dengan-sebaran-perusahaan-kehutanan-terbanyak-di-indonesia diakses tanggal 11 Februari 2022.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/13/kesenjangan-upah-antargender-tertinggi-ada-di-tingkat-lulusan-sd diakses tanggal 11 Februari 2022.

[1] https://www.merdeka.com/uang/sektor-pertanian-kehutanan-dan-perikanan-serap-tenaga-kerja-tertinggi-3878-juta.html

[2] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/07/apa-pulau-dengan-sebaran-perusahaan-kehutanan-terbanyak-di-indonesia

[3] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/13/kesenjangan-upah-antargender-tertinggi-ada-di-tingkat-lulusan-sd

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *