CTSS IPB University Paparkan Hasil Kajian Sementara tentang Efektivitas Implementasi SVLK pada Berbagai Tipe Alas Hak Hutan

Center for Transdisciplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University memaparkan hasil kajian sementara tentang Efektivitas Implementasi SVLK pada Berbagai Tipe Alas Hak Hutan, 19/4
CTSS-IPB

Center for Transdisciplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University memaparkan hasil kajian sementara tentang Efektivitas Implementasi SVLK pada Berbagai Tipe Alas Hak Hutan, 19/4. Kajian tersebut merupakan hasil kolaborasi penelitian antara CTSS IPB University dengan Chatham House, London.

Profesor Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University menjelaskan, pihaknya diajak bekerja sama oleh Chatham House untuk memperkuat forest governance dan international cooperation terutama melihat dalam jangka 10 tahun. “Mereka ingin melihat bagaimana tantangan yang dihadapi oleh kehutanan yang ada kaitannya dengan international cooperation,” kata Prof Damayanti Buchori.

Prof Damayanti menambahkan, melalui kerja sama tersebut, dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam 10 tahun mendatang serta saran yang dapat diberikan kepada multilateral agency. Ia menyebut, sedikitnya ada tiga negara yang terlibat dalam kerja sama yaitu Brazil, yang berfokus pada hutan Amazon, Kongo yang berfokus pada international trade, serta Indonesia yang berfokus pada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Ada tiga tipe hutan yang menjadi target penelitian SVLK, yaitu hutan alam, hutan rakyat dan hutan adat,” tambah Prof Damayanti Buchori, dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman.

Profesor Bramasto Nugroho, Koordinator Peneliti menjelaskan bahwa penelitian dilakukan dengan cara pengisian kuesioner dan wawancara. Pengisian kuesioner melibatkan sedikitnya 20 responden dari perusahaan kehutanan, baik hutan alam maupun hutan tanaman. Sementara, kegiatan wawancara dilakukan dengan mewawancarai 21 petani yang sudah memperoleh SVLK dan 12 petani belum mendapat SVLK. Tidak hanya itu, tim peneliti juga melakukan wawancara terstruktur terhadap akademisi dan pemerintah.

Prof Bramasto mengatakan, topik riset yang dipilih adalah tentang SVLK karena diwajibkan bagi seluruh bisnis kayu yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Ia menyebut, SVLK bertujuan sebagai penjaminan legalitas hasil hutan terutama kayu.

Berdasarkan hasil sementara dari kajian yang telah dilakukan di hutan negara, Prof Bramasto mengatakan bahwa ditemukan ada kesulitan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dalam mengatasi ilegal logging, sementara, dukungan pemerintah dipersepsikan sebagai sedang hingga lemah (excludability problems). Ia menyebut, dengan SVLK, ada sebagian beban kesulitan mengeluarkan pihak yang tidak berhak kepada pihak lain.

“Pemegang PBPH sebagai agents tidak merasa keberatan terhadap aturan, proses, biaya dengan kewajiban SVLK yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (principal),” kata Prof Bramasto.

Ia dan tim menduga bahwa hal tersebut disebabkan adanya persoalan asymmetric of power antara principal dengan agents, mengingat dari sisi kemanfaatan ekonomi (finansial) lemah. Ia juga menyebut bahwa pemegang PBPH tanaman mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap UUCK dari pada pemegang PBPH alam.

Prof Bramasto melanjutkan, temuan dari hutan rakyat, petani yang terlibat dan berkontribusi dalam pembuatan SVLK sebesar 71 persen. Ia bersama tim menemukan bahwa umumnya, pengurus kelompok tani hutan (KTH) ikut berkontribusi dalam pengajuan SVLK dan cukup tahu atas hak penerima SVLK. Namun demikian, banyak anggota KTH yang hanya menuruti permintaan fasilitator dan tidak paham SVLK meskipun kelompoknya mendapat SVLK.

“Meskipun ada KTH yang sudah mendapat SVLK, tetapi petani tidak merasakan ada manfaat ekonomis (finansial) dari SVLK,” kata Prof Bramasto.

Ia juga menyebut, apabila SVLK membebani biaya hutan rakyat, maka ada 33 persen petani akan mengonversi hutan rakyatnya yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian hutan rakyat. Tidak hanya itu, petani juga merasa keberatan dengan kewajiban SVLK apabila harus membiayai sendiri.

“Petani juga lebih membutuhkan pemberantasan hama sengon dan bisa melakukan direct selling dengan industri. Oleh karena itu, perlu aksi kolektif dan tata kelola untuk mengatasi hama dan penyakit serta distorsi harga oleh tengkulak,” tambah Prof Bramasto, dosen IPB University dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan.

Sementara, katanya, belum ada penerapan SVLK pada kayu dari hutan adat. Setidaknya ada tiga penyebab SVLK belum diterapkan di hutan adat. Tiga sebab tersebut yaitu hutan adat masih berjuang untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah, kayu dari kawasan hutan adat sejauh ini tidak diperdagangkan atau bukan komoditas komersial, serta pemanfaatan kayu dari hutan adat umumnya diatur oleh lembaga adat. Lembaga adat tersebut menyebutkan bahwa kayu hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat adat. (Ra)

Keyword: SVLK, kehutanan, legalitas kayu, legalitas produk kehutanan

 

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *