Sintesa Teknologi dan Etnomedisin Daun Apa sebagai Rempah Pusaka Suku Dayak Agabag

Disclaimer: Tulisan ini merupakan karya pemenang Essay Contest 3 yang diselenggarakan oleh CTSS IPB University. Seluruh isi dan konten merupakan karya asli penulis tanpa dikurangi maupun ditambah oleh panitia. Apabila terdapat konten yang bermasalah, hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis.

Pembuka

Ketika menemukenali Daun Apa, sebuah tumbuhan yang hidup dalam ruang ekokultural bumi Kalimantan Utara, penulis berimajinasi bahwa tanaman ini akan menjadi etnomedisin yang mendunia. Dalam kehidupan sosial budaya komunitas yang menyebut dirinya orang Dayak Agabag, tumbuhan Apa digunakan sebagai rempah untuk mengolah sayur yang menjadi pangan esensial bagi kehidupan kultural masyarakat, yakni sayur Umbus. Daun Apa menimbulkan rasa asin gurih sebagaimana vetsin penyedap rasa sehinga menambah cita rasa dari olahan sayur Umbus. Selain sebagai rempah kuliner, daun Apa merupakan tanaman penyembuh tradisional untuk penyakit pegal badan, deman, terkilir dan sakit perut. Bahkan di tengah gelombang pandemi yang masih mewabah, daun Apa dipercaya oleh masyarakat memiliki khasiat sebagai menangkal virus Covid-19. Mungkinkah sintesa teknologi modern dan pengetahuan lokal etnomedisin yang juga hidup di tengah-tengah suku Dayak Agabag sebagai rempah pusaka kuliner dapat menyelesaikan problem peradaban manusia modern?

Gambar 1. Selembar Daun Apa

Kuliner, Kekerabatan dan Ritus Budaya Melintas Batas

Kuliner menjadi tradisi yang sifatnya esensial bagi komunitas indigenous people. Didasari oleh pemenuhan kebutuhan dasar biologis tubuh manusia secara individual terhadap pangan, kebudayaan membentuknya menjadi aktivitas komunal berkelindan kondisi relung ekologis masyarakat dayak Agabag, sebuah komunitas indigeneous people yang bermukim di bumi Kalimantan Utara. Aktivitas komunal makan bersama erat dengan perasaan ritus penting yang kerap kali dilakukan antar kampung bahkan melampaui batas negara. Dalam aktivitas makan komunal ini, rempah daun Apa yang meresap dalam olahan sayur daun Umbus menjadi pengikat aliansi kekerabatan etnis Dayak Agabag melalui rasa.

Daun Apa menjadi rempah utama yang dicampurkan pada sayur Umbus. Pada ritus budaya melintas, sayur Umbus menjadi pangan yang wajib ada dalam pelaksanaan ritus budaya melintas batas dari Dayak Agabag. Keberadaannya menjadi simbol kohesi sosial dari masyarakat di hulu Sembakung yang hidup dalam morfologi hutan dan sungai yang melintas batas. Sayur Umbus menjadi simbol aliansi kekerabatan yang terejawantahkan dalam pangan yang dibuat dari tetumbuhan dan komposisi rempah yang secara alamiah tumbuh dalam relung hidup masyarakat.

Gambar  2. Foto Sungai Pensiangan yang Menembus Batas Negara

Komunitas yang dikenal sebagai kelompok indigenous people Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ini awalnya bermukim jauh di dalam hutan dan di balik gunung untuk menghidari serangan musuh pada masa-masa peperangan zaman mengayau. Akan tetapi, ketika masa kesepakatan perdamaian untuk hidup secara damai, pemukiman masyarakat Agabag mayoritas berkumpul di sepanjang tepian Sungai Sembakung. Pola pemukiman yang mendekati morfologi aliran Sungai Sembakung membuat kesempatan masyarakat untuk melakukan kegiatan menembus batas negara ke bagian Sabah Malaysia melaksanakan ritus aliansi kekerabatan yang menghidangkan kuliner sayur Umbus yang dibumbui dengan vetsin alami daun Apa. Cabang Sungai Pansiangan merupakan jalur yang mengantarkan masyarakat Agabag menembus batas negara menguatkan ikatan kekerabatan dengan orang-orang Murut di sepanjang Sungai Pensiangan sekaligus diikat oleh kebudayaan makan sayur Umbus.

Gambar  3. Hidangan di Bangsal saat Ritus Adat

Ikatan kekerabatan lintas negara untuk menyantap kuliner sayur Umbus dikuatkan oleh ritus daur hidup yang senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat untuk menandai setiap fase kehidupan yakni kelahiran (angidu), perkawinan (pampulutan), dan kematian (amakan).  Intensitas ritus cukup sering diadakan oleh masyarakat. Bahkan seringkali berlangsung sambung menyambung antara satu ritus dengan ritus lainnya yang membawa keterlibatan keluarga luas. Durasi setiap acara ritus berkisar antara 3-5 hari di mana kebutuhan konsumsi makanan utamanya sayur Umbus pada saat berlangsungnya acara disediakan secara komunal orang perempuan-perempuan yang bertindak sebagai Ngampunon (kampung pihak keluarga perempuan yang dikunjungi/pihak penerima). Sementara itu, kaum pria beserta seluruh keluarga dari pihak Tambuluy (pihak keluarga laki-laki yang mengunjungi/pihak pemberi) melakukan ritus adat yang berpusat di bangsal adat sambil menyantap berbagai pangan yang disediakan ngampunon termasuk sayur Umbus.

Gambar  4. Konsumsi pangan untuk Tambuluy

Gambar  5. Persiapan mengantar Makanan ke Bangsal Adat oleh Perempuan Ngampunon

Seluruh ibu-ibu yang berperan sebagai Ngampunon sebagai tuan rumah memasak kebutuhan konsumsi para tetamu Tambuluy di dapurnya masing-masing. Para ngampunon bertugas untuk mengolah hewan buruan babi, sapi, kijang, ayam, dan ikan-ikanan yang didapatkan oleh lelaki. Pangan hewani tersebut diolah dan disajikan secara komunal serta disantap dengan sayur Umbus.  Pada waktu-waktu makan yakni pagi, siang, dan malam mereka akan mengantarkan masakannya dalam wadah-wadah ke bangsal adat. Sementara itu, anak-anak perempuan biasanya akan membantu merapikan sisa pekakas tempat makanan dan mencucinya.

Gambar  6. Memetik Sayuran untuk Konsumsi Sehari-Hari dari Ladang

Sayur Umbus merupakan olahan pangan yang berasal dari pucuk daun singkong. Tumbuhan ini biasanya ditanam pada ladang yang letaknya tidak jauh dari pemukiman penduduk. Pekerjaan menanam, mengurus, dan menuai hasil ladang tanaman Ubi (bahasa lokal masyarakat untuk menyebut singkong) biasanya dilakukan oleh perempuan. Hal ini sejalan dengan pembagian peran dari masyarakat tipe pra-modern yang biasanya perempuan memiliki tanggung jawab untuk meramu makanan sementara lelaki berburu hewan. Menanam sayur Umbus dilakukan secara bersama-sama oleh perempuan-perempuan dalam kekerabatan keluarga luas sehingga kepemilikan ladang Umbus umumnya tidak hanya dimiliki oleh keluarga inti, akan tetapi juga klan (keluarga luas).

Gambar  7. Ladang Pohon Ubi yang Ditanam Dekat Pemukiman Warga

Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam paragraf awal, dalam ritus adat, sayur Umbus menjadi andalan pelengkap konsumsi orang Agabag untuk memakan Ilui. Ilui merupakan pangan yang berasal dari umbi singkong yang diparut dan diambil sari patinya, buah dari pohon sayur Umbus. Ilui merupakan asupan karbohidrat utama mayoritas orang Agabag selayaknya nasi bagi kebanyakan suku bangsa di Pulau Jawa. Memakan ilui yang memiliki tekstur lengket akan menjadi pas apabila disantap dengan kuah sayur Umbus yang diolah dengan gurihnya rempah vetsin alami daun Apa.

Gambar  8. Variasi olahan Umbus dengan Jagung Muda dan Sayur Oyong

Tidak hanya disajikan dalam ritus adat, sayur Umbus juga menjadi konsumsi harian bagi masyarakat Agabag. Tentu saja kebiasaan budaya makan sayur Umbus, daun Apa hampir selalu menjadi rempah utama dalam olahannya. Sayur Umbus diolah dari pucuk daun singkong (Manihot esculenta) yang ditumbuk sampai halus. Setelah daun singkong tertumbuk halus, kemudian dimasukan dalam air mendidih dan didiamkan beberapa saat. Beberapa masyarakat seringkali memberikan campuran variasi sayuran pelengkap seperti jagung muda yang telah dipipil dan potongan sayur oyong yang juga ditanam di sekitar perladangan Ubi. Akan tetapi ada juga yang hanya menggemari olahan daun Umbus saja tanpa campuran. Setelah tumbukan daun Umbus dan potongan sayur tambahan hampir matang barulah daun Apa dicampurkan dengan cara meremas-remasnya hingga keluar air berwarna kemerahan. Sayur Umbus yang telah diberi remasan air daun Apa diaduk sampai rata dan direbus beberapa saat. Daun Apa memberikan rasa gurih alami pada olahan sayur Umbus sebagaimana perasa gurih buatan vetsin.

Gambar  9. Kegiatan santap Ilui dan sayur Umbus

Penambahan daun Apa pada sayur Umbus menambah cita rasa masakan sehingga kegiatan mengkonsumsi sayur mayur menjadi rutinitas yang menyenangkan. Sayur Umbus disukai oleh seluruh lapisan masyarakat dari anak-anak, pemuda hingga orang tua menyukai sayur Umbus. Setelah mengonsumsi sayur Umbus diakui oleh masyarakat memberikan efek yang meyegarkan bagi tubuh. Menurut penuturan beberapa pemuda yang pernah merantau ke daerah Jawa untuk menempuh pendidikan tinggi, tidak sama ketika mengonsumsi sayur Umbus dengan olahan daun singkong sebagaimana di pulau Jawa. Cita rasa gurih yang khas dan efek yang menyegarkan bagi tubuh hanya didapatkan ketika memakan olahan sayur Umbus dari tanah hulu Sembakung Kalimantan yang dicampur dengan rempah daun Apa.

Biasanya dalam sekali memasak sayur Umbus dalam kuantitas sepanci, hanya dibutuhkan satu lembar daun Apa. Selembar rempah Apa sebenarnya cukup untuk memberikan rasa gurih dan manis pada sepanci daun Umbus. Budaya menyantap sayur Umbus yang berlangsung dalam hari-hari ritual membuat ikatan kekerabatan masyarakat lintas batas negara semakin menguat. Sebagaimana rempah Apa yang memiliki fungsi sebagai penguat rasa, simbol pengikat masyarakat Agabag terejawantahkan dalam budaya kuliner masyarakat.

Akan tetapi, pada masa kini, masuknya komoditas penyedap rasa buatan vetsin mulai menggantikan daun Apa sebagai rempah alami untuk mengolah pangan daun Umbus. Mulai langkanya daun Apa membuat beberapa masyarakat memilih mensubtitusikannya dengan vetsin yang banyak dijual di warung-warung dekat rumah. Bahkan, karena telah terbiasanya penduduk pada paparan komoditas produk penyedap rasa instan vestin yang pasti ada di setiap dapur, penggunaannya hampir selalu dilakukan meski sayur Umbus telah dicampur dengan daun Apa. Padahal vetsin atau monosodium glutamate (MSG) mengandung zat adiktif yang apabila digunakan secara berlebihan akan menimbulkan berbagai penyakit.

Gambar 10. Ilui yang disajikan dengan sayur Umbus dan Tamba’ Ikan

Gambar  11. Pengolahan Sayur Umbus dengan campuran sayur Gambas

Pohon Apa memang tidak tumbuh di tempat. Keberadaannya banyak ditemukan secara liar di hutan-hutan belantara. Biasanya, daun Apa ini didapatkan bersamaan dengan kegiatan para lelaki yang mecari hewan buruan di hutan. Hanya beberapa penduduk yang berhasil menanam Apa dipekarangan rumahnya yang tidak jauh dari ladang Ubi. Masyarakat setempat tidak mengetahui mengapa tanaman ini bisa tumbuh secara ajaib dekat pekarangan rumah dan ladang Ubi. Karena itu, bagi masyarakat setempat hingga kini, misteri tumbuhnya dauh Apa masih tidak dapat dilepaskan dengan mitologi asal usul penemuan daun ini di masa lalu.

Gambar  12. Budidaya Tumbuhan Apa di Dekat Pekarangan Pemukiman Warga

Dalam cerita mitologi orang Agabag, daun Apa ditemukan secara misterius oleh leluhur mereka Yadu Polod saat menyusuri hutan bersama anjingnya. Tempat di depan pohon Apa, anjing Yadu Polod menggonggong. Yadu Polod yang belum mengetahui kegunaan dari daun tersebut pun memetiknya dan membawanya pulang. Saat tidur, Yadu Polod mendapatkan petunjuk dalam mimpi bahwa daun tersebut dapat membuat makanan menjadi terasa enak dan membuatnya menjadi lahap makan. Yadu Polod mempraktikan mimpi tersebut dengan olahan sayur daun Umbus yang biasanya memang dalam keseharian menjadi makanan mereka. Sayur daun Umbus yang biasanya terasa hambar menjadi lebih sedap karena rasa gurih yang ditimbulkan. Setelah mengonsumsi sayur Umbus yang dicampur dengan daun Apa tersebut, badan juga menjadi terasa bugar. Resep dari leluhur Yadu Polod ini masih diturunkan kepada generasi Agabag selanjutnya dengan berbagai ragam modifikasi dan semestinya dijaga esensinya agar tanpa meninggalkan rempah pusaka utama daun Apa.

Daun Apa dan Pengobatan Etnomedisin

Dikalangan suku Dayak Agabag, pengobat tradisional yang dikenal dengan sebutan ”Tukang Uwot” atau yang biasa dikenal dengan ”Battra” memiliki peran penting di masyarakat dalam memberikan pelayanan dan pengobatan hingga pasien mengalami kesembuhan dengan mengunakan obat-obatan tradisional kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan tradisional (folk medicine) dalam kehidupan masyarakat Agabag masih diyakini kemujarabannya sebagai penyembuh penyakit sehingga memiliki peranan yang besar terhadap keberlangsungan  kesehatan masyarakat.

Dalam penelusuran lapangan yang dilakukan oleh penulis, daun Apa dikenal sebagai tumbuhan etnomedisin yang berkhasiat menyembuhkan penyakit pegal-pegal pada badan, demam, terkilir, dan sakit perut. Dengan meminum air rebusan beberapa lembar daun Apa penyakit yang kerap kali dialami oleh masyarakat Agabag akan berangsur pulih. Efek yang dirasakan oleh masyarakat setelah meminum ramuan rebusan daun Apa sama seperti ketika mengonsumsi sayur daun Umbus, badan menjadi terasa segar dan bugar dan penyakit yang dikeluhkan akan berangsung-angsur membaik.

Khasiat daun Apa kemudian dicoba oleh masyarakat untuk menyembuhkan gejala yang timbul pada saat suspek terinfeksi Covid-19. Penyakit dengan simtom utama kehilangan indra perasa dan penciuman ini di tahun lalu menggemparkan seluruh warga kampung karena penularannya yang amat cepat dan massif, bahkan hampir menjangkiti warga seluruh kampung. Mereka mengeluhkan mengalami gejala terinfeksi Covid-19 seperti demam, sakit kepala, badan pegal linu, indra perasa dan penciuman tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diberitakan di media massa.

Ketakutan akibat pemberitaan yang tersebar di media sosial mengenai konspirasi penanganan medis modern yang justru memberikan dampak buruk bagi tubuh manusia membuat masyarakat Agabag memilih melakukan pemulihan secara mandiri. Masyarakat enggan melakukan Swab Antigen maupun PCR meskipun telah mengalami gejala terinfeksi Covid-19. Mereka melakukan isolasi mandiri di kebun-kebun yang jauh dari pemukiman sambil berjemur mengolah ladang dan rutin mengonsumsi ramuan daun Apa. Setelah mengonsumsi ramuan daun Apa, gejala yang penyakit yang timbul akibat suspek terinfeksi Covid-19 berangsur-angsur membaik. Setelahnya, masyarakat kembali melakukan aktivitas komunal seperti biasanya. Hal ini membuat masyarakat juga mempercayai bahwa daun Apa merupakan obat penawar bagi penyakit Covid-19. Daun Apa dipercaya berkhasiat dalam meningkatkan imunitas tubuh dari serangan virus. Sehingga apabila terpapar, tubuh akan membentuk antibodi dengan segera untuk melawan virus Covid-19.

Selain sebagai simbol pengikat sosio-kultural masyarakat lintas batas negara melalui kuliner, rempah daun Apa masih menyimpan misteri sebagaimana cerita mitologi awal ditemukannya. Daun Apa meyingkap indigenous knowledge yang didapatkan hasil pembelajaran lintas generasi dari masyarakat Agabag yang hidup dalam relung hidup berwujud hutan dan sungai. Dalam fase pandemi covid-19 seperti saat ini, pengetahuan leluhur terdahulu terhadap tumbuhan pusaka daun Apa ternyata masih dipercayai oleh masyarakat dapat menyelesaikan persoalan penyakit mewabah ini.

Penutup: Mengimajinasikan Daun Apa sebagai Etnomedisin yang Mendunia

Melihat fenomena ini, menarik untuk membuktikan secara medis unsur-unsur biokimia yang terkandung dalam daun Apa. Apalagi melihat fenomena pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai, sebenarnya kegiatan riset eksploratif untuk menelusuri pengetahuan lokal etnomedisin yang  informatorium OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) yang digagas oleh BPOM RI. Dengan sintesa perkembangan teknologi modern saat ini menjadi penting untuk  mengungkap kebaikan adiluhung dalam pengetahuan lokal rempah pusaka daun Apa dari Masyarakat Agabag guna memproyeksikan kehidupan masyarakat yang sehat dan sejahtera di masa mendatang.  Oleh karena itu, riset mengenai khasiat rempah pusaka daun Apa dan sintesa bioteknologi mestinya urgen untuk dilakukan guna menghasilkan sustainability science bagi penyelesaian problema peradaban manusia modern yang termaktub dalam butir agenda SDGs (Sustainable Development Goals) ke-3, Kehidupan Sehat dan Sejahtera (good health). Akhirnya, sains keberlanjutan dapat diwujudkan dengan memposisikan pengetahuan lokal memiliki esensi hidup selaras dengan alam dapat dimaknai secara lebih meluas dan teramplifikasi melalui medium teknologi modern.

Kemuliaan pengetahuan lokal masyarakat hutan dan sungai yang hidupnya masih sangat dekat dengan alamnya menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat urban yang dalam kesehariannya memerlukan berbagai bantuan teknologi modern. Kita menjadi begitu tergantung dengan berbagai medium teknologi sehingga tanpa sadar menjauhkan diri dari berbagai realitas alamiah lingkungan yang menjadi tempat tinggal kita. Kita menjadi tealineasi, hidup melayang-layang dalam terbuai teknologi adiktif tanpa benar-benar berpijak di bumi dan menatap alam semesta yang jernih.

Apa penulis dapatkan dari proses menemukenali rempah pusaka daun Apa menjadi pembelajaran reflektif bahwa bumi kita sesungguhnya telah menyediakan penawar atas setiap penyakit yang bermunculan. Secara siklis, penyakit dan penawarnya dipercayai oleh masyarakat Dayak Agabag sebagai realitas kehidupan yang tidak terpisahkan dari penciptaan manusia. Realitas yang masih begitu jernih untuk kita bisa menangkap pesan adiluhung atas kebaikan alam semesta melalui samudera pengetahuan lokal dari masyarakat yang kita bisa sebut sebagai indigenous people ini keberadaannya masih eksis dan tersebar luas di seluruh penjuru negeri Indonesia. Oleh karena itu, dengan menyelami pengetahuan lokal rempah daun Apa membuat penulis optimis bahwa bangsa Indonesia dapat mendukung penyelesaian persoalan peradaban manusia modern melalui sintesa etnomedisin dengan teknologi biokimia. Akan tetapi, hal yang perlu kita pastikan ialah bagaimana moderenitas teknologi menjadi medium untuk mengamplifikasi nilai-nilai adiluhung pengetahuan lokal untuk berkehidupan tetap selaras dangan alam, bukan hanya sekadar alat penggandaan komoditas medis semata.

Penulis : Puji Hastuti
Juara 2 Kategori Mahasiswa

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *