Kepala CTSS IPB University Sampaikan Pidato Kebudayaan dan Pangan

Prof Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University, memberikan pidato kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2023
pidato kebudayaan

Prof Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University, memberikan pidato kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2023, 24/10. Ia menyampaikan pidato berjudul Sebuah Refleksi Sejarah, Pengetahuan dan Kemanusiaan: Suara dari Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Tema yang diangkat adalah Kebudayaan dan Kedaulatan Pangan. Tema ini sangat penting dan akan selalu relevan bagi Indonesia dari masa ke masa,” kata Prof Damayanti Buchori.

Prof Damayanti melanjutkan, oleh karena berkaitan dengan eksistensi umat manusia, maka pangan merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan. Ia menyebut, Sejarah pertanian sendiri barulah 12, 000 ribu, tetapi ternyata merupakan game changer bagi kehidupan di bumi.

“Semangat berdaulat pangan sesungguhnya terkait erat dengan sejarah Institut Pertanian Bogor (IPB University), institusi dimana saya tumbuh, belajar dan berkarya sampai saat ini,” kata Prof Damayanti Buchori, pakar serangga dari IPB University.

Ia melanjutkan, pada peletakan batu pertama berdirinya Fakultas Pertanian Universitas Indonesia – kini bernama IPB University – pada tanggal 27 April 1952, Presiden pertama RI Bung Karno mengatakan sebuah pesan penting bahwa pangan adalah mengenai mati hidupnya bangsa dan pendirian IPB adalah penugasan dari beliau agar mampu mengurus pangan rakyat secara berdaulat dan berdikari.

Dalam perspektif kebudayaan dan kedaulatan pangan, Prof Damayanti menyampaikan hakikat bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan. Ia menerangkan bahwa sistem pangan seharusnya didirikan di atas realitas keragaman kita sebagai sebuah bangsa.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.000 lebih pulau dengan ragam karakteristik sosial, ekologi dan budaya yang membentuk keragaman sistem pangan Indonesia,” kata Prof Damayanti, dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman.

Prof Damayanti melanjutkan, lahirnya pertanian di berbagai tempat, menghasilkan “budaya-budaya” bertani yang berbeda-berbeda, khas, spesifik lokasi dan kemudian berkembang menjadi pengetahuan tradisional over the millenia.  Contohnya adalah bunga dari Tana Karo. Masyarakat lokal menyebutnya bunga Dawa, yang lebih umum dikenal sebagai jewawut. Jewawut dikenal sebagai sumber karbohidrat sebelum masuknya padi di daerah tersebut.

Prof Damayanti juga memberikan berbagai contoh kebudayaan lokal yang berkaitan dengan pangan. Beberapa di antaranya seperti Leuit dari Sunda, dan dan Langkau dari Dayak sebagai lumbung untuk ketahanan pangan. Leuit dan Langkau digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, dan ubi.

Prof Damayanti juga menyebut tentang kedaulatan pangan dari pulau-pulau kecil di Indonesia. Ia mencontohkan adanya fenomena menarik yaitu adanya sekelompok masyarakat di Parahing Kambata Wundut Sumba Timur  yang mengalami pengalaman berbeda ketika terjadinya ledakan belalang kembara. Komunitas adat ini masih memegang teguh kearifan lokal mereka yang bersandar pada adat Marapu. Mereka memiliki pranata adat untuk ritual dan pengorganisasian produksi yang khas.

“Mereka memiliki pranata adat untuk ritual dan pengorganisasian produksi yang khas. Adat Marapu menghargai semua yang eksis di dunia ini sebagai sesuatu yang hidup. Untuk itu sebelum melakukan budidaya mereka harus berkomunikasi dengan Tuhan dan Leluhur mereka,. sedikitnya ada 10 ritual adat yang harus mereka lakukan dalam satu siklus budidaya padi di sawah mereka,” kata Prof Damayanti Buchori.

Prof Damayanti mengatakan, saat ini kita dihadapkan pada penyeragaman sistem produksi, konsumsi, kebijakan dan program, serta indikator-indikator pembangunan pangan yang justru meminggirkan dimensi lokalitas dan keragaman sistem pangan di Indonesia. Hal ini telah menimbulkan kerentanan, lemahnya resiliensi, ketergantungan dan berbagai krisis kerusakan agroekosistem lokal dan beserta daya dukungnya.

“Keseragaman tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh perspektif pengambil kebijakan dan juga para ilmuwan yang mengabaikan keragaman sistem pangan di Indonesia. Hal ini bisa kita periksa dari beberapa aspek terkait dengan sistem pangan kita,” kata Prof Damayanti Buchori.

Kita harus melakukan transformasi sistem pangan, mulai dari pikiran. Mulai dari cara pandang kita terhadap pangan. Bukankah untuk manusia hidup sehat dan berkualitas, sebenarnya yang kita butuhkan adalah zat zat gizi makro dan mikro, sehingga kita perlu swasembada karbohidrat yang bisa diperoleh dari ragam sumber pangan (tidak hanya beras), kita perlu swasembada protein yang diperoleh dari ragam sumber protein dan seterusnya. Kita perlu mengeskplorasi lebih jauh keanekaragaman sumber-sumber pangan kita, melakukan inovasi dan melihat praktik-praktik masyarakat kita yang beragam dalam produksi pangan, keluar dari jebakan ekonomi komoditas tersebut.

“Pidato ini saya tutup dengan sebuah ajakan untuk menempatkan kearifan lokal dan kebudayaan sebagai jalan untuk transformasi sistem pangan negara kepulauan, dengan menghargai nilai keberagaman dan kedaulatan. Dari suara-suara masyarakat pesisir dan pulau kecil, kita bisa belajar untuk menemukan strategi dan peta jalan agar Indonesia sebagai bangsa mampu mewujudkan kedaulatan pangan yang sejati,” tutup Prof Damayanti Buchori.

Pidato Kebudayaan dan Pangan dapat dilihat di bawah ini https://www.youtube.com/live/8YUB9o_0EOc?si=q1M3md9FzObUqwyj

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp