Center for Transdisciplinary and Sustainabillity Sciences (CTSS) IPB University merumuskan policy brief tentang Efektivitas Penerapan SVLK pada Berbagai Tipe Alas Hak. Policy brief tersebut merupakan inti sari dari hasil penelitian yang berjudul “Implementation of Indonesia’s Sustainability and Legality Assurance System (SVLK) under Different Forest Rights Regimes.” Kegiatan penelitian dilaksanakan dari tahun 2021 hingga 2022 yang merupakan kerjasama antara CTSS IPB University dengan Chatam House.
Prof Bramasto Nugroho, Ketua Tim Peneliti, menjelaskan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) menjadi salah satu instrumen untuk memperbaiki kinerja tata kelola kehutanan. SVLK direkomendasikan untuk dipertahankan pada pemanfaatan hutan negara terutama pada Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
“Instrumen SVLK ini lebih baik dipertahankan pada pemanfaatan hutan negara terutama pada kawasan PBPH, tetapi tidak pada kawasan hutan rakyat,” katanya.
Untuk itu, katanya, pemerintah Indonesia perlu melengkapi kebijakan penerapan SVLK pada pemanfaatan hutan negara yang tertuang pada PP 33/2021 dan PermenLHK 8/2021.
Pada policy brief ini, dirumuskan beberapa rekomendasi terkait implementasi SVLK di Indonesia. Pertama, perlu mengefektifkan standar legalitas dan verifikasi SVLK. Standar legalitas dan verifikasi ini dilakukan tidak hanya untuk kayu melainkan seluruh hasil hutan yang dimanfaatkan oleh pemegang PBPH.
“Perlu disertai kejelasan sangsinya sebagai akibat diterapkannya kebijakan multiusaha kehutanan,’ tambah Prof Bramasto, dosen IPB University.
Rekomendasi kedua yaitu harus ada aturan khusus atau paling tidak di dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menekankan bahwa penerapan SVLK pada hutan rakyat dikecualikan dari ketentuan Pasal 217 ayat 2 dan 4 Permen LHK 8/2021.
“Ini cukup dengan mengefektifkan dan menambah fitur deklarasi hasil hutan secara mandiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 217 ayat 1 (huruf d) dan ayat 5 serta Pasal 224 Permen LHK 8/2021, sehingga deklarasi tersebut dapat dijadikan jaminan legalitas dan kredibilitas kayu bulat yang berasal dari hutan rakyat,” kata Prof Bramasto.
Pada policy brief itu juga disebutkan bahwa para pihak atau aktor yang menanam hutan (seperti petani atau pemilik hutan rakyat) seharusnya dihargai kerja kerasnya oleh pemerintah. Dengan demikian, bukan direpotkan dengan berbagai prosedur seperti SVLK, yang tidak memberikan nilai tambah atau keuntungan.
Salah satu bentuk dukungan dan penghargaan yang diperlukan petani hutan rakyat adalah dukungan anggaran untuk pemberantasan dan pencegahan hama dan penyakit, fasilitasi penjualan langsung ke industri perkayuan, dan penyelesaian kebutuhan darurat petani (tebang butuh) melalui pinjaman bergulir untuk tunda tebang. Di samping itu, pemerintah semestinya mendorong kebijakan yang dapat meningkatkan profitabilitas baik usaha pemanfaatan hutan di hutan negara maupun hutan rakyat sebagai insentif bagi pengelolaan hutan lestari, penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan pendapatan masyarakat sesuai amanat omnibus law (UU No. 11/2020).
Naskah policy brief secara lengkap dapat diakses melalui https://doi.org/10.29244/Agro-Maritim.v4.i3.12
3 Responses
Alhamdulillah sangat membantu dan Keren informasinya. Rasional dengan apa yang dirasakan setelah kebijakan seperti ini diberlakukan untuk semua alas tapak hutan. Menarik juga karena kembali lagi bahwa masalah kelestarian hutan ini menyangkut lagi bagaimana hutan itu dapat memberikan manfaat kepada pemilik atau pemegang izin. Tapi yang jadi permasalahan yang masih saya bingung, bahwa disitu dijelaskan bahwa nilai/harga kayu itu rendah, sedangkan dengan adanya kegiatan pengeluaran kayu dari hutan, tentu ada multiplier effect (terutama bagi lingkungan dan sosial) yang menyebabkan adanya eksternalitas negatif (ketika harga kayu benar” dipandang hanya dari sudut pandang komoditas kayu itu). Padahal, seharusnya harga kayu tersebut dipandang juga dari kerusakan akibat pengeluaran kayu dari hutan atau diinternalisasi, (namun sepertinya engga rasional mengingat harga kayu yang akan sangat tinggi dan dengan adanya barang substitusi bagi kayu juga sangat besar peluang bagi komoditas kayu kedepan tidak lagi dibutuhkan). Ditambah lagi dengan kebijakan SVLK ini yang nyatanya tidak memiliki pengaruh yang besar (tidak signifikan) bagi kenaikan harga kayu dan hanya memperumit proses dari aktivitas penjualan kayu.
beban pengelolaan hutan pemerintah cukup besar, sehingga percepatan pengelolaan hutan yang lestari melalui perizinan PS dan perizinan multi usaha melalui PBPH. menciptakan iklim usaha kehutanan yang ramah investasi menjadi perlu untuk didorong.
dalam konteks policy brief ini mungkin perlu dihitung juga willingness to pay PBPH terhadap besarnya total biaya yang perlu dikeluarkan untuk sertifikasi SVLK dan produk multiusaha lainya. sehingga bisa dilakukan langkah lanjutan untuk menghindari penurunan investasi di sektor kehutanan. sebagai contoh, apabila cost yang rill SVLK lebih tinggi dari willingness to pay, alternatif kebijakan yang bisa ditempuh :
1. menunda kewajiban sertifikasi hingga investasi sektor kehutanan cukup berkembang, yang bisa dilihat dari proporsi luasan PBPH yang aktif terhadap kawasan hutan produksi yang cukup besar.
2. mengurangi biaya birokrasi sertifikasi sehingga ongkos rill SVLK dibawah ambang wilingness to pay PBPH.
Wah nice info, kajiannya sangat menarik. Semoga semua pihak yang menanam hutan dapat memperoleh manfaat dan penghargaan yang lebih baik, terutama petani.