Center for Transdisciplinary and Sustainability Science, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (CTSS LPPM) IPB University kembali menggelar Transdisciplinary Tea Talk, (19/8). Pada seri ke-9 ini, tema yang dibahas adalah new normal dan urgensi otonomi daerah.
Kepala CTSS LPPM IPB University, Prof Damayanti Buchori menjelaskan tema yang diangkat adalah pandemic and society. Tema ini dikupas secara berseri dan dari berbagai macam sudut pandang dalam diskusi yang sebelumnya sudah dilakukan.
“Tema ini merupakan tema pertama tentang otonomi daerah yang didiskusikan. Dari diskusi ini kita belajar tentang otonomi daerah dan keterkaitannya dalam pandemi yang saat ini terjadi,” ungkap Prof Damayanti.
Otonomi daerah sejatinya merupakan hak dan kewajiban serta wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di daerahnya. Namun, masih terdapat beberapa masalah dalam implementasi otonomi daerah di Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut antara lain adanya tarik-menarik kewenangan daerah, pemekaran daerah, korupsi di tingkat daerah, politik dinasti, politisasi birokrasi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), adanya peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang bermasalah dan relasi pusat-daerah yang kurang harmonis.
Sementara, terkait pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini, Prof Dr Djohermansyah Djohan, narasumber dari Institute Otonomi Daerah menjelaskan, supaya kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dapat harmonis, organisasi harus hierarki dengan presiden sebagai panglima tertinggi, adapun gubernu, bupati maupun walikota berperan sebagai pelaksana pemerintahan umum dan dibantu instansi vertikal serta perangkat daerah sebagai ketua satgas. Ia juga menyarankan data penerima bantuan korban terdampak COVID-19 harus dimutakhirkan.
“Pembagian bantuan dibagi antara pusat (dengan porsi terbesar), provinsi dan kabupaten maupun kota. Sebaiknya bantuan berupa bantuan langsung tunai (BLT) saja, bantuan lainnya bisa diintegrasikan termasuk dari dana desa,” tambah Prof Djohermansyah.
Lebih lanjut ia menerangkan, pemberlakuan normal baru atau adaptasi kebiasaan baru di tingkat daerah harus didukung penuh baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Di samping itu, pemerintah pusat hendaknya bisa merangkul, mau menerima masukan dari pemda yang tahu kondisi lapangan dan mengapresiasi pemda yang kreatif dan inovatif. Ia juga menyarankan supaya pilkada yang akan dilaksanakan bulan Desember mendatang bisa ditunda sampai bulan September 2021.
Adapun Prof Syarif Hidayat, Fellow CTSS IPB University dan peneliti dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) menyarankan supaya melakukan revitalisasi tata kelola otonomi daerah dalam menghadapi pandemi COVID-19 dan normal baru. Revitalisasi tersebut menyangkut revitalisasi perspektif otonomi daerah dari mono menjadi transdisiplin, redefinisi otonomi daerah (state and society), refocusing subjek dan objek otonomi daerah, rekonstruksi konsep otonomi daerah dan rekonstruksi pendekatan kebijakan otonomi daerah.
“Pada dasarnya otonomi daerah itu tidak hanya menyangkut pemerintah daerah saja, tetapi otonomi daerah juga mengajak masyarakat society untuk ikut serta dalam implementasi otonomi daerah itu,” jelas Prof Syarif.
Materi :
- Normal Baru dan Urgensi Otonomi Daerah (Oleh Prof. DR. H. Djohermansyah Djohan, MA)
- New-Normal dan Urgensi Aktualisasi Otonomi Daerah (Oleh: Syarif Hidayat)