The 13th Transdisciplinary Tea Talk “Mengungkap Fenomena Migrasi Burung dan Teori Quantum Entanglement”

Fenomena migrasi burung telah lama menarik ilmuwan untuk meneliti. Hal ini karena burung yang bermigrasi selalu kembali ke rumahnya tanpa tersesat di tengah perjalanan.
CTSS-IPB

Fenomena migrasi burung telah lama menarik ilmuwan untuk meneliti. Hal ini karena burung yang bermigrasi selalu kembali ke rumahnya tanpa tersesat di tengah perjalanan. Padahal, tempat yang dituju oleh burung yang bermigrasi bisa ribuan kilometer bahkan melintasi benua dan samudera.

Fenomena migrasi burung ini juga menarik perhatian CTSS IPB University sehingga diselenggarakan Transdisciplinary Tea Talk tentang Bird Migration and Quantum Entanglement, 21/6. Kegiatan ini menghadirkan Prof Ani Mardiastut (Board CTSS IPB University) dan Prof Husin Alatas (Sekretaris Eksekutif CTSS IPB University).

Kepala CTSS IPB University, Prof Damayanti Buchori menjelaskan serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk kali ini diadakan dalam rangka untuk memperingati hari lingkungan hidup. Khususnya untuk melihat perilaku burung dari kacamata biologi dan fisika kuantum. CTSS IPB University ingin mempertemukan  antara kelimuwan fisika dan biologi untuk membahas perilaku migrasi burung.

CTSS IPB

“Kali ini kami mempertemukan keilmuan fisika dan biologi di CTSS University. Harapanya kita bisa melihat fenomena migrasi burung untuk membumikan dan melihat dari kacamata transdisiplin ilmu,” ungkap Prof Damayanti.

Prof Ani Mardiastuti mengungkapkan sejak dahulu manusia memperhatikan mekanisme burung untuk mengenali arah. Misalnya kemampuan burung ini dimanfaatkan manusia untuk mengirim surat. Dalam perkembangannya berbagai bidang ilmu digunakan untuk menjelaskan dan memanfaatkan kemampuan ini.

“Burung memiliki sistem navigasi yang presisi untuk melakukan migrasi jarak jauh. Akurasi burung dalam perjalanan antar benua ini didukung dengan kompas alami yang ada di tubuhnya. Sehingga memungkinkan burung untuk menentukan orientasi menggunakan matahari dan magnet bumi,” ungkap Prof Ani.

pakar konservasi satwa liar tersebut menjelaskan bahwa fenomena burung bermigrasi telah lama mendapat perhatian oleh para ilmuwan. Ia mengatakan, beberapa ilmuwan menduga bahwa medan magnet bumi mempengaruhi reaksi kimia yang melibatkan fotoreseptor di mata burung. Dengan demikian, otak burung akan mencatat perubahan pada cryptochrome dan memilih arah yang sesuai.

“Pandangan lain adalah bahwa paruh burung memiliki kandungan kristal magnetic, yang merespon medan magnet bumi dan menyampaikan pesan melalui sistem saraf ke otak. Tetapi, belum diketahui mekanisme ini bekerja,” ujar Prof Ani Mardiastuti.

Di samping itu, Ia menyebutkan ada ilmuwan yang meneliti bahwa burung american robin (Turdus migratorius) memiliki cryptochrome sehingga dapat mengenali tempatnya. Cryptochrome yang dimaksud adalah cryptochrome 4 (Cry4).

“Ada tiga Cryptochrome yang diketahui yaitu Cry1, Cry2 dan Cry4. Tetapi Cry1 dan Cry2 ternyata mengalami perubahan panjang akibat efek dari pencahayaan dan hanya Cry4 yang tetap,” katanya.

Sehingga, kata Prof Ani, Cry4 diduga memiliki peran besar bagi burung untuk melakukan migrasi. Namun demikian, perilaku migrasi burung juga tidak terlepas dari reaksi biologi, kimia, fisika dan biokimia di dalam tubuh burung.

Menurutnya navigasi burung ini merupakan sebuah penemuan baru yang cukup kompleks untuk dijelaskan menggunakan pendekatan satu ilmu. Penggunaan pendekatan transdisiplin ilmu diperlukan, misalnya menggunakan biologi, biokimia, dan fisika kuantum.

Selaras dengan penjelasan tersebut, Prof. Husin Alatas mengungkap bahwa burung menggunakan reaksi kimia yang ada di mata. Proses kimia ini melibatkan cahaya dan menghasilkan orientasi molekul sensitif yang bergantung kepada medan magnet.

“Reaksi fotocemical menghasilkan senstifitas burung dalam merasakan medan magnet bumi.. Sehingga diduga burung bisa memindai gradien dari medan magnet bumi. Hal ini memungkinkan navigasi burung menjadi efektif, ” ungkap Prof. Husin

Ia menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Manusia bisa belajar dari kemampuan burung untuk mendapat sistem navigasi yang lebih akurat dibandingkan dengan Global Positioning System (GPS). Hal ini memerlukan pendalaman yang lebih lanjut.


Materi Prof Ani Mardiastuti

Materi Prof Husin Alatas

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *