Agroforestri Dengan Kearifan Lokal, Upaya Besar Dalam Penyelamatan Hutan Secara Berkelanjutan Di Tengah Kehidupan Yang Cenderung Antroposentris

A VPN is an essential component of IT security, whether you’re just starting a business or are already up and running. Most business interactions and transactions happen online and VPN
jUara 3

PENDAHULUAN

Alam iki sejathining guru dan Alam takambang jadi guru, dua peribahasa asli Indonesia yang menggambarkan pentingnya mencari pengetahuan dari alam yang terhampar di sekitar kita. Vegetasi hutan dan kearifan masayarakat asli sekitar hutan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan hutan yang lestari baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kearifan lokal Nusantara dalam melestarikan hutan sudah diaplikasikan dengan rapi sejak masa nenek moyang bangsa Nusantara. Leluhur bangsa Indonesia yakni bangsa Austronesia yang datang dari Hindia-Belakang (Yunan dan Dongson) sejak tahun 2500 SM (Proto) dan 500 SM (Deutro) pastinya telah mengalami berbagai kejadian penting sehingga melahirkan kearifan lokal yang sesuai dengan kondisi alam kepulauan Nusantara. Sekumpulan pelaut yang datang dengan perahu bercadik tersebut tentunya akan menyesuaikan diri dengan kondisi Nusantara karena perbedaan kondisi alam baik secara klimatis dan edafis dengan tanah leluhurnya di Asia Daratan. Oleh karena itu, penggalian pengetahuan lokal yang ada di masyarakat menjadi penting dilakukan karena telah melalui proses seleksi alam dan adaptasi yang sangat lama dengan kondisi alam di Nusantara.

Hutan tropis merupakan tipe ekosistem dominan yang ada di Indonesia. Secara umum hampir setiap jengkal tanah di Indonesia ditutupi oleh tumbuhan baik berupa pohon maupun rerumputan karena curah hujannya yang relatif tinggi. Hutan juga banyak berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Istilah Jumpun Pambelom atau hutan sebagai sumber kehidupan merupakan gambaran mengenai pentingnya keberadaan hutan terhadap kehidupan manusia. Saat ini, luas hutan di Indonesia semakin berkurang setiap tahunnya. Hal ini banyak dikarenakan perluasan pemukiman, illegal logging dan kebakaran hutan serta lahan yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk industri dan lahan pertanian. Kajian strategi penghijauan hutan menjadi salah satu hal yang penting dilakukan agar pemulihan hutan seperti sedia kala akan cepat terjadi.

Agroforestri merupakan solusi yang tepat dalam pemulihan hutan di Indonesia. Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan yang mengkombinasikan tanaman pertanian dan tanaman kehutanan dengan suatu pengaturan jarak tanam dengan tujuan mengurangi persaingan antar tanaman (Figyantika et al. (2020). Secara umum, agroforestri dibedakan menjadi agroforestri sederhana (Tumpangsari), dan agroforestri kompleks. Indonesia mempunyai beberapa agroforestri kompleks yang bersumber dari kearifan lokal daerah yaitu Pekarangan, Wono, Talun, Parak, Repong Damar, Kebun Campuran, Munaant, Simpukng, Tembawang, Kebont We, Amarasi, Oma, Kebon, Ngerau, Rau, Kamutu Luri, Omang Wike, Okaluri, Ongen, Uma, Napu, Nggaro dan Mamar. Agroforestri telah berhasil digunakan untuk pengembangan desa hutan sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Selain itu, agroforestri merupakan salah satu solusi pemanfaatan lahan akibat besarnya pembangunan di daerah pedesaan. Oleh karena itu, kajian mengenai agroforestry lokal Indonesia menjadi sangat penting karena keberadaannya yang toleran terhadap kehidupan yang antroposentris. Masyarakat mukti, hutan lestari adalah suatu tujuan utama dari agroforestri.

ISI ESSAY

Sing nandur bakale ngundhuh, peribahasa ini menggambarkan orang yang pada masa lalu menanam budi pekerti maka akan memetik hasilnya di masa depan. Semangat ini perlu diaplikasikan dalam penghijauan hutan dengan hari ini menanam, maka hasilnya akan diambil pada masa yang akan datang. Peran hutan dalam kehidupan manusia sangatlah besar. Kerusakan hutan dapat menyebabkan bencana besar pada kehidupan manusia. Leuweung ruksak, cai beak, manungsa balangsak merupakan gambaran dampak kerusakan hutan. Peribahasa yang berarti hutan rusak, air habis, manusia hidup sengsara ini menggambarkan betapa bahayanya kerusakan hutan bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, berkembangnya kehidupan yang antroposentris menyebabkan lahan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi secara besar-besaran.

Penanaman tanaman pertanian secara monokultur merupakan sistem yang sangat marak dilakukan saat ini. Penerapan pertanian monokultur pada tanaman pertanian memang sangat sesuai jika untuk pemenuhan dalam hal ekonomi. Akan tetapi secara ekologi penerapan pertanian monokultur sangatlah berbahaya karena menyebabkan berbagai dampak yang serupa dengan kerusakan hutan. Penerapan sistem monokultor pada tanaman hutan pun tidak akan menyelesaikan masalah karena akan menyebabkan berbagai gejolak sosial yang akan menyebabkan kondisi yang tidak terkendali. Oleh karena itu perlu adanya kajian mengenai pemilihan strategi yang sesuai untuk mencapai kelestarian ekonomi, sosial dan ekologi tanpa menghilangkan salah satu dari tiga pilar kelestarian tersebut.

Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang diyakini mampu mengembalikan vegetasi hutan tanpa merugikan perekonomian masyarakat. Penggunaan sistem agroforestri sudah cukup lama dikenal masyarakat dengan istilah tumpangsari. Suhendang (2013) menyatakan, tumpangsari yang saat ini banyak dikenal oleh masyarakat mulai diperkenalkan ke rakyat Indonesia pada masa penjajahan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie) saat pembangunan hutan Jati (Tectona grandis) di Jawa. Sistem ini diadopsi oleh pemerintah kolonial Belanda dari taungya Sistem yang ada di Burma, Hindia-Britania (British India). Berdasarkan Umrani & Jain (2010), taungya system diterapkan oleh kolonial Inggris dengan tujuan pembangunan hutan jati (T. grandis) di Burma. Hal ini dikarenkan jati merupakan vegetasi alami di hutan Burma dan mempunyai nilai jual kayu yang sangat tinggi. Perusahaan Hindia Timur Inggris (East India Company / EIC) memperoleh keuntungan yang sangat besar dari perdagangan kayu jati. Adapun disisi lain, kawasan Hindia-Britania memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Sehingga, kebutuhan lahan untuk tanaman pangan sangatlah besar. Hal ini menyebabkan taungya system diterapkan secara luas untuk pembangunan desa hutan dengan harapan pengadaan hutan jati selaras dengan pengadaan lahan untuk tanaman pangan.

Sejak jaman dahulu, kayu jati telah memiliki kedudukan yang istimewa di kalangan penduduk Nusantara. Tercatat, beberapa peninggalan peradaban seperti kapal Jung Jawa dan beberapa rumah adat pada masa lampau terbuat dari kayu jati.  Hal ini juga menarik minat pemerintah kolonial karena keberadaan jati yang mampu menggantikan kayu Oak dalam pembuatan kapal. Sehingga, penerapan taungya system menjadi daya tarik sendiri bagi pemerintah Hindia-Belanda. Berdasarkan beberapa catatan pada masa awal penguasaan perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie / VOC), daerah pesisir utara pulau Jawa tertutup oleh hutan Jati yang sangat lebat. Vegetasi tersebut dipercayai sebagai tegakan alami walaupun terdapat beberapa sumber yang menyatakan vegetasi tersebut ditanam oleh manusia (Suhendang 2013). VOC tercatat mengeksploitasi hutan jati di Jawa secara besar-besaran karena coraknya yang indah dan kayunya yang kuat sehingga harga jualnya menjadi sangat tinggi. Selain itu, kayu jati juga mampu menyaingi keindahan kayu Oak dari daerah sub-tropis sehingga kayu ini mempunyai daya tarik tersendiri dibandingkan kayu lain di Indonesia. Disisi lain, kondisi kepadatan penduduk di Jawa sangatlah tinggi dan hanya sedikit tempat di luar jawa yang sesuai untuk menghasilkan jati dengan corak yang indah sepeti di Jawa. Adapun pendapat ini didukung (Poerwanto et al. 2015) yang menyatakan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara memiliki pola hujan equatorial (sepanjang tahun) sehingga kurang sesuai untuk menghasilkan kayu jati yang bercorak seperti di Jawa yang memiliki pola hujan monsoonal (musiman). Penyebabnya, pola hujan monsoonal akan membentuk lingkaran tahun karena adanya musim kemarau yang nyata. Sementara, pola hujan equatorial tidak akan membentuk lingkaran tahun pada jati karena curah hujan sepanjang tahun dan musim kemarau yang tidak nyata. Bahkan antara Jawa bagian barat dengan Jawa bagian timur, akan menghasilkan kayu jati dengan corak yang berbeda. Jati yang tumbuh di Jawa bagian timur akan memiliki harga jual yang lebih mahal dibandingkan jati yang tumbuh di Jawa bagian barat. Hal ini dikarenakan coraknya yang lebih indah akibat daerah yang lebih kering. Kondisi tapak yang ideal untuk penanaman jati yang sulit ditemukan menyebabkan pembangunan desa hutan jati menjadi hal penting bagi pemerintah kolonial dalam mempertahankan komoditas eksportnya. Akhirnya, dipilihlah taungya system yang adaptif dengan kepadatan penduduk dan sistem itu berganti nama menjadi tumpangsari ketika diterapkan di Nusantara.

Terkadang sebagian besar masyarakat berpendapat jika agroforestri hanyalah tumpangsari. Hal itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Karena tumpangsari merupakan salah satu jenis agroforestri yang berbentuk sederhana. Disisi lain, terdapat juga tipe agroforestri kompleks dengan struktur dan komposisi yang menyerupai hutan alam. Agroforestri kompleks dapat ditemui pada pekarangan dan kebun agroforest. Secara harfiah, Pekarangan berakar dari kata ‘’karang’’ yang berarti halaman rumah. Secara istilah, pekarangan merupakan suatu hamparan lahan yang berbentuk taman hutan tropis yang berada di sekitar rumah tinggal dan dimanfaatkan secara lestari untuk pemenuhan kebutuhan pribadi keluarga. Pekarangan merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia. Hal ini tercatat pada manuskrip lama (babad) dan dibuktikan dengan banyaknya kata ‘’karang’’ pada nama tempat di Indonesia seperti: Karanganyar, Karangsari, Karangtengah, Karanggenang dsb.

a                                                           b                                                       c

 

Gambar 1 Perbandingan tutupan lahan (a) Pekarangan / Karang Kitri (b) Tumpangsari dengan pola acak (c) Tumpangsari dengan pola larikan.

Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi.

Gambar 1 merupakan gambaran tentang perbedaan struktur dan vegetasi antara jenis agroforestri kompleks berupa pekarangan dan agroforestri sederhana berupa tumpangsari dengan pola acak dan pola larikan. Pekarangan atau karang kitri  (Gambar 1a), menunjukkan struktur dan vegetasi yang lebih lebat daripada jenis agroforestri lainnya (Gambar 1b dan 1c). Vegetasi pada pekarangan tersebut meliputi Mahoni (Sweitenia macrophylla), Melinjo (Gnetum gnemon), Coklat/Kakao (Theobroma cacao), Pisang Kapok (Musa acuminata × balbisiana), Pepaya (Carica papaya) dan Kecombrang (Etlingera elatior). Secara umum, pekarangan tmempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi akan dan memiliki jumlah tegakan yang rendah. Hal ini dikarenakan tujuan dari pekarangan yang hanya sebagai pemenuhan kegiatan pribadi dan bukan sebagai sumber penghasilan utama. Pekarangan memang mempunyai luasan yang paling sempit dibandingkan tipe agroforestri lainnya. Akan tetapi jika setiap rumah mempunyai pekarangan dengan kombinasi jenis yang menyerupai hutan alam, maka setidaknya karbodioksida (CO2) dari suatu rumah tangga akan diserap oleh tanaman yang ada di pekarangan dan kelimpahan CO2 di alam akan terkurangi. Dampaknya, pemanasan global akan terkurangi dan perubahan iklim akan dapat dikontrol. Selain itu, pola pekarangan juga adaptif untuk daerah perkotaan karena tidak memerlukan lahan yang luas dan tidak sulit dalam pengelolaannya.

Setiap spesies tanaman pada Gambar 1a (pekarangan) memiliki maksud dan tujuan masing-masing dalam penanamannya. Mahoni ditanam untuk peneduh dan sumber kayu bakar dari pemangkasan alami rantingnya. Selain itu mahoni juga dapat dijadikan cadangan keuangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan karena termasuk kayu komersial. Sementara, tanaman melinjo, pepaya, dan kakao merupakan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang memiliki banyak manfaat pada setiap bagian tanamannya. Tanaman kecombrang dapat dimanfaatkan bumbu dapur apabila diperlukan. Pisang dimanfaatkan sebagai tanaman pengisi lahan yang daunnya bisa diambil setiap hari dan buahnya yang cukup digemari masyarakat.

Vegetasi pada pekarangan tidak sama antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hai ini dikarenakan perbedaan produk unggulan, selera dan kondisi klimatis serta edafis antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Sebagai contoh, daerah dengan produk unggulan berupa emping seperti emping limpung, emping kletuk, emping bonggol. emping gepuk, emping krepus dan emping menes, maka akan banyak dijumpai pohon melinjo (Gnetum gnemon) di pekarangan mereka. Begitupun dengan daerah dengan produk unggulan seperti gaplek, opak, dan gethuk maka akan banyak dijumpai tanaman singkong di pekarangan mereka. Hal ini dilakukan untuk menaggulangi kemungkinan kelangkaan pasokan bahan baku dari sawah, ladang maupun kebun yang diakibatkan oleh berbagai hal.

Gambar 1b dan 1c merupakan contoh dari penerapan tumpangsari. Secara umur, agroforestri yang mengkombinasikan hanya 2 tanaman adalah ciri utama dari agroforestri sederhana (tumpangsari). Adapun letak pengaturan tanaman pada tumpangsari dapat dilakuakan secara acak maupun dengan pembuatan larikan. Gambar 1b merupakan contoh penerapan tumpangsari pola acak dengan jenis tanaman yang ditanam adalah Jati (Tectona grandis) dan Pisang Kapok (Musa acuminata × balbisiana). Sementara Gambar 1c menunjukkan contoh dari tumpangsari dengan pola larikan dengan jenis tanaman berupa Sengon (Falcataria moluccana) dan Sereh Wangi (Cymbopogon nardus). Secara umum pola larikan banyak diterapkan untuk tanaman sela dengan tingkat pemeliharaan yang tinggi sementara pola acak diterapkan pada tanaman sela yang membutuhkan tingkat pemeliharaan yang rendah. Hasil dari penerapan tumpangsari dalam perbaikan hutan di Indonesia menunjukkan hasil yang luar biasa. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tanaman menjadi lebih besar karena adanya pengolahan tanah oleh petani. Pemupukan yang dilakukan petani dan peladang pada tanaman pertanian di bawah tegakan hutan secara tidak langsung akan mempercepat pertumbuhan jati. Adapun jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan di bawah tegakan jati pada masa lampau adalah padi gogo dan palawija. Secara umum, agroforestri sederhana lebih mengutamakan kelestarian produksi dibandngkan jenis agroforestri kompleks. Akan tetapi, penerapan agroforestri sederhana jauh lebih baik daripada penanaman secara monokultur.

Secara umum, aspek klimatis sangat mempengaruhi dalam penyusunan kombinasi tanaman pada semua jenis agroforestri. Wilayah dengan vegetasi alami berupa hutan musim (Tropical Monsoon Forest/Tropical Moist Decidious Forest) akan cenderung menanam Jati yang dikombiansikan dengan tanaman umbi tradisional (empon-empon). Hal ini dikarenakan kedua tanaman tersebut tidak menyukai tapak yang terlalu basah. Kemudian, kedua tanaman tersebut saling berkorelasi. Kondisi lantai hutan subur akan empon-empon umumnya akan mempunyai nilai bonita (kualitas tempat tumbuh) yang baik untuk tanaman jati. Kemudian, untuk wilayah dengan vegetasi alami berupa hutan hujan tropis (Tropical Rainforest) akan cenderung mengkombinasikan tanaman dari family Dipterocarpaceae (Meranti) dengan tanaman alami tanah tropika basah seperti rotan dan talas. Hal ini terinspirasi dari kondisi asli hutan hujan tropis basah yang penuh dengan rotan dan tanaman berdaun lebar. Sementara, pada wilayah dengan vegetasi alami berupa savana (Tropical Savana) cenderung menanam pohon dan tanaman pertanian dari family Fabaceae karena merupakan vegetasi yang dominan tumbuh pada lahan kering di Indonesia.

Agroforest merupakan salah satu agroforestri kompleks selain pekarangan. Agroforest dapat didefinisikan penggunaan suatu lahan tertentu dengan agroforestri yang mengkombinasikan lebih dari 2 spesies tanaman sehingga terbentuk struktur yang menyerupai hutan alam. Agroforest di Indonesia sangatlah beranekaragam. Sardjono et al. (2003) menyatakan Wono dan Talun merupakan kearifan lokal berupa agroforest di Pulau Jawa. Repong Damar dengan penggunaan tanaman pokok Damar Mata Kucing (Shorea javanica) dan sistem Parak merupakan kearifan lokal agroforest di Pulau Sumatera. Munaant, Simpukng, dan Tembawang merupakan merupakan kearifan lokal berupa agroforest di Pulau Kalimantan. Amarasi, Oma, Kebon, Ngerau, Rau, Kamutu Luri, Omang Wike, Okaluri, Ongen, Uma, Napu, Nggaro dan Mamar merupakan kearifan lokal berupa agroforest di kepulauan Nusa Tenggara. Secara umum, sistem agroforest tersebut beranekaragam akibat kombinasi tanaman yang berbeda antara satu dan lainnya. Hal itu dikarenakan keanekaragaman sosial-budaya, peraturan adat dan kondisi iklim antar wilayah di Indonesia.

Penerapan agroforestri seringkali mendapatkan kritik dari berbagai banyak pihak. Salah satu kritik dari sistem tersebut adalah hilangnya permudaan alami (Nature Regeneration) berupa semai, pancang, dan tiang dari suatu hamparan hutan dan berlanjut pada hilangnya potensi Plasma Nutfah. Selain itu, berbagai tumbuhan bawah liar yang sebagian belum diketahui manfaatnya juga ikut hilang dari proses pengolahan lahan untuk tanaman pertanian. Sumber bibit tanaman hutan yang ditanam pun seringkali menggunakan bibit dari persemaian (Seedling Regeneration) yang dikembangkan dari bagian generatif berupa benih dari pohon unggul tertentu. Cara penanamannya pun ada yang langsung berupa benih dengan direct seeding dan adapula yang menggunakan bibit yang telah disemai di persemaian (Nursery). Bahkan beberapa individu menggunakan hasil perbanyakan vegetatif baik dari metode stek, cangkok, okulasi (enten), grafting (sambung pucuk) dan kultur jaringan. Hal ini menyebabkan berbagai kritik dengan berkurangnya keanekaragaman pada tingkat genetik dan spesies. Disisi lain, permudaan alam dapat dimanfaatkan sebagai sumber bibit dari penghijauan hutan. Secara umum, permudaan alam dapat diambil dengan menggunakan teknik cabutan dan puteran yang kemudian akan ditanam dengan jarak tanam tertentu. Bibit dari permudaan alam memiliki beberapa keunggulan antara lain: tingkat adaptasinya yang tinggi. Sementara, bibit dari persemaian akan menghasilkan tegakan yang unggul karena kualitas gennya yang terjamin. Masalah yang timbul juga berkaitan dengan kelestarian ekonomi dan ekologi. Berfikir kritis dari multi-disiplin ilmu menjadi solusi dari permasalahan tersebut.

PENUTUP

Deso mowo coro, negoro mowo toto dan Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, itulah peribahasa yang pantas untuk menjelaskan strategi penghijauan hutan di Indonesia. Secara umum keanekaragaman pola agroforestri antar setiap daerah pun diakibatkan oleh perbedaan tapak dan iklim antar daerah. Indikator dan parameter menuju kelestarian hutan yang seragam untuk satu Indonesia merupakan suatu hal yang harus dihindari. Hal ini dikarenakan kondisi yang beranekaragam antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Agroforestri yang beranekaragam antar daerah menunjukkan tingkat kelestarian yang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung, penerapan strategi yang terencana harus seirama dengan kearifan lokal dari tempat tersebut. Adaptasi yang lama dari kearifan lokal bisa menjadi acuan dari keekfektifan sistem tradisional pada daerah setempat.

 

Penulis : Bagastama Dipa Briliawan
Juara 3 Kategori Pascasarjana

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *