Belajar Pembangunan Pertanian dari Petani, Penyuluh dan Kemandirian Pertanian Era Dahulu
Pada dasarnya, narasumber 3th Graduate Student Montly Sustainability Seminar (GSMSS), Sebastian Broerer dari University of Amsterdam menjelaskan tentang proses pembangunan pertanian di Indonesia sejak masa penjajahan hingga awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa tersebut, pembangunan pertanian di Indonesia sudah menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan (the development people atau actor center). Sejak tahun 1920an, sudah ada ahli agronomi yang bergerak dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pada masa itu juga, pandangan terhadap petani selalu positif, yaitu tidak memandang bahwa petani tidak mengetahui apa-apa, melainkan memandang petani sebagai ahli di bidang pertanian.
Narasumber dari Amsterdam tersebut menerangkan, kegiatan pembangunan pertanian waktu itu dilakukan dalam dua kategori yaitu mass education dan auto-activity. Dalam kelompok mass education, ada kegiatan yang disebut sebagai Kasimo Plan (1947) yang bertujuan untuk mencapai self-sufficiency dalam hal pangan atau biasa disebut swasembada pangan. Program tersebut menempatkan farmer’s mind atau psikologi sebagai sesuatu yang penting sehingga faktor manusia sangat penting sebagai bahan pertimbangan.
Sementara, itu istilah auto-activity dicetuskan oleh Jan Boeke pada tahun 1922. Di dalam istilah tersebut, faktor manusia juga dianggap penting sehingga dikenal istilah “from object to the subjects.”
Pada diskusi tersebut, diusulkan tentang perlunya dimasukkan dimensi sejarah pertanian dalam kurikulum dan penelitian. Sejarah pertanian ini dinilai penting karena pembangunan pertanian tidak terlepas dari sejarah pertanian itu sendiri. Di samping itu, disepakati juga bahwa petani menjadi inti dalam pembangunan pertanian sehingga tidak ada alasan untuk memarjinalkan para petani.