The 17th Transdisciplinary Tea Talk “Perjalanan Panjang dari kyoto ke Glasgow”

Dalam kesempatan ini, Prof Daniel Murdiyarso yang hadir sebagai narasumber menjelaskan, dalam perjalanan panjang Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tidak terlepas dari permasalahan keuangan. “Masalah keuangan ini selalu mentok, sedangkan permasalahan teknis jauh lebih maju dan kompleks,” ujar Prof Daniel Murdiyarso, pakar iklim kehutanan dari IPB University.

CTSS IPB University Bahas Pembiayaan untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University kembali menggelar serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk (TTT), 18/10. Seri diskusi kali ini membahas perjalanan panjang penanganan krisis iklim dari perjanjian Kyoto sampai COP26 yang akan diselenggarakan di Gasglow bulan November mendatang.

Profesor Damayanti Buchori, Kepala CTSS IPB University mengatakan, topik ini sengaja dibuat demikian karena dalam waktu dekat akan diselenggarakan COP26 di Gasglow. “Kami mengambil tema ini karena ingin menyoroti isu financing climate change. Hal ini karena financing itu juga merupakan hal penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” papar Prof Damayanti Buchori, Guru Besar IPB University dari Fakultas Pertanian.

Dalam kesempatan ini, Prof Daniel Murdiyarso yang hadir sebagai narasumber menjelaskan, dalam perjalanan panjang Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tidak terlepas dari permasalahan keuangan. “Masalah keuangan ini selalu mentok, sedangkan permasalahan teknis jauh lebih maju dan kompleks,” ujar Prof Daniel Murdiyarso, pakar iklim kehutanan dari IPB University.

Lebih lanjut, dosen IPB University itu menjelaskan, masalah pertumbuhan ekonomi yang mengalami disrupsi ini menyebabkan beberapa pihak menunda dalam menyukseskan konvensi krisis iklim. Ia menyebut, Protokol Kyoto menjadi putusan pertama yang mendapat persetujuan berbagai pihak dalam menangani perubahan iklim.

Setelah Protokol Kyoto diimplementasikan, lanjut Prof Daniel, terdapat komitmen periode dalam menurunkan emisi. Ia mencontohkan, ketika COP di Bali, ditetapkan beberapa kesepakatan seperti pembuatan dua jalur pengambil keputusan yang terdiri dari UNFCCC (COP) dan Kyoto Protocol (COP/MOP). Tidak hanya itu, pada saat yang sama, REDD+ juga disetujui dan Bank Dunia meluncurkan skema pendanaan Forest Carbon Parnership Facility (FCPF).

“Meskipun kita sudah melalukan berbagai konvensi dan upaya, ternyata emisi gas rumah kaca telah menaikkan suhu bumi 1,1 derajat Celcius. Ini akibat dari ulah antropogenik,” kata Prof Daniel.

Untuk menurunkan emisi di tahun 2050, katanya, akan ada banyak sekali yang harus diturunkan. Berdasarkan prediksi 10 tahun mendatang, untuk menurunkan suhu 1,5 derajat Celcius, harus menurunkan emisi sebanyak 32 milyar ton.

Dari prediksi tersebut, Prof Daniel berharap, COP26 di Gasglow dapat menghasilkan climate finance yang mencapai 100 billion per tahun. Dengan demikian, diharapkan dapat mendorong pencapaian net zero emission.

“Kita berharap, COP26 bisa mempertimbangkan anak-anak muda serta menjadikan sains sebagai tumpuan dalam pengambilan keputusan,” pungkas Prof Daniel.

Terkait finance climate change, Dr Djoko Tri Haryanto menjelaskan, dukungan pendanaan untuk mencapai target agenda iklim dapat berasal dari sektor publik, swasta dan internasional. Ia menyebut, pemerintah juga telah berupaya memitigasi perubahan iklim melalui Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2020-2024).

Lebih lanjut, Djoko mengatakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan juga memberikan respon terhadap isu perubahan iklim. Respon Kebijakan Fiskal terhadap isu perubahan iklim antara lain adalah kerangka fiskal mitigasi perubahan iklim; insentif perpajakan untuk pengembangan energi baru terbarukan dan teknologi bersih; kebijakan pencabutan subsidi BBM; penguatan belanja melalui penerapan climate budget tagging; mainstreaming climate budget tagging dalam anggaran pembangunan daerah.

“Kita juga merumuskan tentang penguatan transfer fiskal berbasis ekologi serta menerbitkan Indonesia’s Green Bond atau Sukuk Freamwork,” kata Djoko Tri Haryanto.

Djoko Tri Haryanto menegaskan, isu pajak karbon di masa mendatang sangat menjanjikan. Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan instrumen fiskal terkait pungutan atas karbon (pajak karbon). Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menyusun climate change fiscal framework serta integrasi sistem perencanaan, penganggaran dan MRV perubahan iklim nasional.

Youtube :

Materi Pak Djoko : Bahan CTSS-2 dan  Bahan CTSS-IPB1

Materi Pak Daniel : Perjalanan Panjang COP – CTSS

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *