The 1st Afternoon Discussion on Future Science “Life After Covid-19 Pandemic”

Disinilah sebenarnya dilihat ketangguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menghadapi pandemic ini. Bagi akademisi, musibah ini mendorong untuk lebih fokus memikirkan sejumlah konsep termasuk metodologi, kombinasi triangulasi data kedua metode kuantitatif dan kualitatif sehingga melahirkan metode adaptif yang dapat menjawab tantangan Pandemic Covid-19. Sains harus digunakan untuk membuat kebijakan yang holistic tidak lagi sektoral.
CTSS_1st_Afternoon DIscussion

Diskusi yang telah dilaksanakan pada hari Senin, 27 April 2020 pada pukul 15.00 -16.30 WIB mengusung tema “Life After Covid–19 Pandemic”. Diskusi dengan durasi kurang lebih 1,5 jam berlangsung sangat hangat. Pemateri diskusi siang itu adalah Dr. Yudha Heriawan Asnawi sebagai staf pengajar di Sekolah Bisnis, IPB University dan bertindak selaku moderator yaitu Dr. Rilus A Kinseng sebagai staf pengajar di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University.

Dalam diskusi webinar diawali dengan beberapa pertanyaan pemantik diantaranya percaya dirikah kita mengatakan terminology “sesudah?” (maksudnya sesudah Pandemic Covid-19). Adakah metode dan kinerja sains saat ini yang dapat memprediksi kapan Covid-19 akan berakhir? Metode ilmiah yang ada masih rapuh, metode ilmiah ditantang. Adakah narasinya dengan minyak bumi? Bagaimanakah pula hubungan kota dan desa? Serta isu konflik atau solidaritas?

Materi yang disampaikan oleh Pak Yudha adalah mengenai meta analisis yang digunakan untuk memahami dampak Pandemic Covid-19. Pandemic menimbulkan anomali pemikiran besar ekonomi. Contoh kasus yang diambil adalah pada harga minyak bumi.

Anjloknya harga minyam bumi di dunia, tidak serta merta menjadikan harga energi, utamanya bahan bakar minyak (BBM) menjadi menurun di negara kita, tetapi justru menimbulkan kecendrungan harga yang meningkat, terutama oleh kebijakan pemerintah yang tak ingin kehilangan pendapatan untuk membiayai dampak pandemi covid 19. Dan yang paling terdampak dari ambigu ekonomi itu adalah pada sektor industri pangan, utamanya yang beskala kecil dan menengah. Masyarakat Indonesia yang terkena dampak Pandemic Covid-19 ada yang bekerja di sektor industry besar berkisar 3 persen, sisanya masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor industri kecil menengah. Industri besar ini lebih siap untuk berhenti melakukan kegiatan produksi karena memiliki modal yang besar (akibat Covid-19). Sebagian besar adalah industry kecil dan terdampak oleh Covid-19, sehingga terjadi PHK. Dari 50 persen yang bekerja di sektor UKM adalah pekerjaan informal, golongan mereka inilah yang paling rentan terhadap dampak pandemic ini. Yang menjadi persoalan terberat akibat pandemic ini adalah, 50 persen masyarakat tersebut yang menjadi pengangguran terbuka akibat pengurangan pegawai akan secara berbondong- bondong kembali ke desanya masing-masing. Keluarga yang berada di desa dinilai sebagai tempat yang paling nyaman untuk menghadapi krisis akibat Pandemic Covid-19.

CTSS_1st Afternoon Discussion on Future Science

Jika berbicara masalah kelangkaan minyak bumi, sebenarnya terdapat kesempatan untuk mengembangkan bahan bakar renewable, contohnya dari kelapa sawit yaitu dengan cara tidak menjual bahan baku, tetapi mengolah bahan baku tersebut. Namun, kembali lagi siapakah pemilik perkebunan kelapa sawit ini? Siapakah yang memiliki kuasa atas pengolahannya? Ketahanan masyarakat/bangsa menghadapi Pandemic Covid-19 dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan nasional yang berusaha menahan penyebaran Covid19 ke desa-desa dengan cara mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan untuk mudik. Namun kebijakan ini sangat sulit diterapkan. Mereka menerobos kembali ke desa dengan berbagai cara dengan alasan di kota sudah tidak memiliki pekerjaan, dari pada di kota tidak memiliki pekerjaan tidak memiliki uang tidak bisa membeli makanan. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada keluarga miskin yang berada di desa dan kota, walaupun terdapat banyak ketidakpuasan karena bantuan yang diterima dinilai tidak tepat sasaran. Dari sini terlihat, apakah pandemic menimbulkan semangat solidaritas atau memicu konflik diantara sesama masyarakat karena bantuan yang tidak tepat sasaran tadi. Apakah masyarakat menjadi semakin resilien atau semakin rentan.

Disinilah sebenarnya dilihat ketangguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menghadapi pandemic ini. Bagi akademisi, musibah ini mendorong untuk lebih fokus memikirkan sejumlah konsep termasuk metodologi, kombinasi triangulasi data kedua metode kuantitatif dan kualitatif sehingga melahirkan metode adaptif yang dapat menjawab tantangan Pandemic Covid-19. Sains harus digunakan untuk membuat kebijakan yang holistic tidak lagi sektoral. Permasalahan ini kompleks tidak sederhana, sehingga metode yang digunakan juga tidak seperti biasanya. Krisis yang kita hadapi sekarang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik kedepannya, seperti filsafat yang dikatakan oleh orang China. Krisis akan terjadi cepat atau lambat, Covid-19 mempercepat krisis ini terjadi. Untuk menghadapi krisis, kita harus berubah. Walaupun proses perubahan tersebut menyakitkan, namun kita akan kembali kepada kondisi normal dan harus lebih baik dari kondisi sebelumnya. Apakah masyarakat akan berubah menjadi kondisi normal atau mungkin akan jatuh lebih dalam lagi. Di sini peran perguruan tinggi dan NGO ikut andil. Penelitian-penelitian untuk menemukan kondisi yang lebih baik lagi harus terus dilakukan. Pembelajaran sudah tidak lagi sektoral, tetapi harus secara holistic. Pendekatan transdisiplin harus dipelajari bersama dan bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang ada sekarang yang belum menemukan titik temu.

Mari kita jadikan Pandemic Covid-19 sebagai momentum untuk melakukan “designing our common future for a better life”.

Rilis Diskusi: Unduh Disini

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *