The 11th Transdisciplinary Tea Talk A Series of Tea Talk on Pandemic and Society “Strategi Pertahanan dan Perjuangan Pekerja Migran Indonesia Pada Masa Pandemi COVID-19”

Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi buruh migran diperlakukan layaknya barang atau komoditas. Beberapa migran bekerja pada jenis pekerjaan kotor, berbahaya, dan tidak manusiawi meski berketerampilan. Ia juga menjelaskan buruh migran kerap menjadi korban perdagangan manusia, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual, psikologi dan traficking.
CTSS- TTT11

CTSS IPB University Hadirkan Aktivis Migran di Tengah Pandemi.

Sampai saat ini, buruh migran masih dinilai belum berperan pada penerimaan negara. Padahal buruh migran dari Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 10 ribu setiap tahunnya. Di samping itu, isu kekerasan terhadap buruh migran turut menjadi polemik terhadap dunia migran Indonesia. Namun kondisi pandemi saat ini seperti menutup polemik tersebut dari publik.

Melihat kondisi tersebut, Center for Transdisiplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB University menghadirkan tokoh migran Indonesia untuk hadir dalam acara serial diskusi Transdisciplinary Tea Talk, 15/10. Tokoh tersebut adalah Eni Lestari dan Arumy Marzudhy. Pada kesempatan ini juga dihadirkan Dr Tyas Retno Wulan, dosen Universitas Padjajaran.

Dr Neviaty P. Zamani, Head of Outreach and Capacity Building Division CTSS IPB University menjelaskan, di media sosial maupun masyarakat umum tidak banyak yang membicarakan buruh migran tersebut. Padahal, buruh migran menjadi salah satu pendukung dalam perekonomian nasional.

CTSS- TTT 11 post

 

“Mereka adalah salah satu penghasil devisa kita, dengan adanya kasus seperti ini, kita akan membahas secara langsung polemik tersebut bersama praktisi dan pakar sosial,” katanya.

Dalam paparannya, Eni Lestari, Ketua International Migrant Alliance menjelaskan jumlah buruh migran Indonesia mencapai 9 juta orang. Jumlah tersebut 70 persen adalah buruh wanita. Buruh migran Indonesia tersebar hampir seluruh benua dan terbesar di Asia.

“Rata-rata mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti pegawai rumah tangga, pabrik, perkebunan, anak buah kapal. Beberapa dari mereka juga bekerja di semi formal seperti pelayaran, perotelan dan perawat,” kata Eni.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi buruh migran diperlakukan layaknya barang atau komoditas. Beberapa migran bekerja pada jenis pekerjaan kotor, berbahaya, dan tidak manusiawi meski berketerampilan. Ia juga menjelaskan buruh migran kerap menjadi korban perdagangan manusia, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan eksploitasi fisik, seksual, psikologi dan traficking.

Oleh sebab itu, buruh migran membangun serikat dan asosiasi. Serikat ini dimaksudkan untuk mengorganisir dan memberikan pendampingan kasus, advokasi dan mobilisasi. Tidak hanya itu, asosiasi tersebut juga berusaha memberi solidaritas dengan perjuangan lokal. (RA)


Keyword: migran, buruh migran, devisa CTSS IPB

Materi Presentasi :
1. Dr. Tyas Retno Wulan, S.Sos., M.Si : Dr. Tyas Retno Wulan, S.Sos., M.Si
2. Eni Lestari : Eni Lestari
3. Arumi Marzudhy : Arumi Marzudhy

kategori: SDGs-8, SDGs-16

Share

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *